Merasa Bersalah
Di pagi hari yang cerah, dengan kicauan burung yang menghiasi suasana
hatiku. Aku sedang beriap-siap berangkat ke sekolah dengan sepeda tua
peninggalan dari ayahku yang baru dua bulan telah meninggalkan keluargaku. Serentak
aku terbanyang ayahku saat ada dalam hidupku. Tanpa sadar ibu memanggilku.
“Nuk…Minuk…” kata ibuku yang bertubuh lemas. “Ada Apa Bu?” jawabku. “Ini kan
sudah jam 06.15, tidak segera berangkat ke sekolah?” nasehat ibu kepadaku. “
Yasudahlah kalau begitu aku berangkat dulu ya Bu?” kataku sambil mencium
tanagan Ibuku. “Hati-hati dijalan ya?” katanya sambil melambaikan tangan.
Saat mengendarai sepeda tuaku, aku sangat sedih melihat keadaan Ibuku
yang sedang sakit dan aku bukan dari keluarga yang mampu, bahkan uang jajan pun
tak punya, apalagi untuk membayar sekolah saja tak mampu. “Aku harus bagaiman?
Untuk makan saja susah, tapi jika aku meminta bantuan mereka akan
mengejekku”batinku. Tiba-tiba bunyi klakson dari belakang menghentikan
lamunanku. “Bip..bip! heh, kalau bersepada jangan sambil melamun!” kata orang
itu. “Oh, maaf pak?”jawabku sambil mengencangkan sepedaku. Sampailah aku di
sekolah, disana aku bertemu dengan teman terbaikku.
“Hei, sedang apa? Kok mukanya keliatan sedih?” tanyaku. “gini, Nuk..Ayahku
masuk rumah sakit”jawanya dengan lesu “lalu?” kataku. “ayahku harus dioperasi,
dan keluargaku tak punya uang?” ujarnya.
“Penyelesaiannya?” tanyaku. “jalan satu-satunya mengutang pada tetangga”
katanya. “hemm, semoga ayahmu cepat sembuh ya?” kataku agar sedikit
menghiburnya.
“Tett…tett…tett…”bel bunyi masuk terdengar. Aku pun segera masuk ke kelas
dan pelajaran mulai tiba. “Anak-anak hari ini kita belajar geometrid an
kerjakan buku hal 121 dikumpulkan pada waktu istirahat” kata guruku. “iya bu?”
jawab serentak. Menikmati waktu istirahat akhirnya bel istirahat berbunyi. Aku
diajak Arum ke kantin dan diberi uang kecil. “Nih, Cuma seribu biar kamu bisa
jajan”katanya.”ah, gak usah.. nanti jadi ngerepotin kamu?”kataku.
“Sudahlah..”jawabnya.
Disana aku pergi ke kantin kejujuran, aku membeli roti seharga 500 rupiah
dan mengambil kembalian dilaci, selintas mengingat ingin ibuku berobat, seakan
memaksaku untuk mengambil uang yang banyak di laci.”Nuk, ayo cepat!” katanya.
Lalu aku terpaksa mengambil uang Rp 20.000 tiga lembar. “Demi, ibuku”batinku.
“iya, tunggu sebentar..”katku pada Arum. Hari sekolah telah siang bel tanda
pulang berbunyi.”Aku pulang dulu ya Rum” sambil melambaikan tanganku.”iya,
hati-hati ya?”jawabnya dengan senyum. Setiba di jalan aku melihat dua anak
kecil berjualan tissue di terminal dan menawarkan barang dagangannya.
“Buk, mau beli tissue nggak?”
“tidak dik?” katanya
“Kak, mau beli tissue nggak?”
“oh, kebetulan dik, berapa harganya?” Tanya kakak itu
“Cuma 2000 kok, kak?” jawab dua bocah kecil”
“ini, dik?” ternyata uang tersebut terselip 5000 rupiah dan dua bocah
tadi berlari mencari kakak tersebut, dan akhirnya bertemu dengan kakak itu.
“Kak….” Panggil bocah itu. “Ada apa?” ujarnya. “Ini, kak tadi Uangnya 5000
terselip” katanya. “Udah buat adik aja”kata kakak itu. “Tidak kak, terima
kasih” jawabnya sambil meninggalkan kakak itu. Sejenak tersadar akan hal yang
baru aku lakukan, aku menjadi sadar dan berencana untuk mengembalikan uang yang
baru saja aku ambil.
Keesokkan harinya aku pergi ke kantin dan kebetulan ada ibu penjaga
tersebut. “Bu, saya mau mengembaliin uang yang kemarin saya ambil. Karena ibu
saya sakit dan tak punya uang, maafkan saya ya bu?” kataku sambil merasa
bersalah. “Yasudah, Ibu maafkan, oh soal itu? Begini..Ibu punya pekerjaan buat
kamu?”jawab ibu itu. “Apa buk” kataku dengan gembira. “Ibu punya usaha rumahan,
kamu bantu ibuk..nanti ibuk kasih upah?” jawabnya. “Saya bisa kapan saja buk?
Terima kasih.
Aku merasa lega dan sekarang aku bisa membawa ibu ke puskesmas. Kemudian,
aku belajar keras dan membuat bimbingan belajar dam mendapatkan uang yang layak
dan bisa menghidupi keluargaku. Aku sungguh berterima kasih pada Tuhan.
Karena kejujuran itu penting, supaya tidak meninggalkan sesal di kemudian hari.
BalasHapusTolong sertakan nama penulis cerpen
BalasHapus