Selasa, 27 November 2018

CERPEN SANG SAMUDERA


Karya Ahmad Riyan Nailanie


Hidup seperti sebuah kertas yang masih polos tanpa sebuah tinta. Awal kehidupan seperti telur yang berada di ujung tanduk. Sebuah kisah dan realita kehidupan seperti tulisan yang dikarang penulis. Aku bagaikan samudera yang lantang terdengar, bagiku hidup ini seperti lukisan dan hanyalah imaji seorang pengarang. Sudah sekian lama aku merenung dalam kabut senja dan hanya ditemani ilusi mimpi. Bukanlah sebuah kepahitan hidup yang dialami seorang yang memiliki moto hidup bagai samudera. Tetapi orang yang memiliki samudera adalah orang yang mempunyai lukisan hidup yang abadi.
Sore itu saat semua barisan mata tertutup diantara bilik kamar 006, aku mendengar jeritan mereka. ‘’Suara kemana aku berlari’’, sahut guraman hatiku yang mendengar jeritan itu. Suasana saat itu seperti ditutupi kabut merah, aku hanya mendengar tetapi tak dapat arti rasa itu. Bagiku hanyalah sebuah jeritan yang terkadang sulit untuk dipahami. Lalu sesaat hilanglah suara jeritan itu dan tiba-tiba suara tangis terdengar. Apa makna ini semua? Pertanyaan itu muncul lagi dari hatiku. Setelah beberapa saat aku terdiam dan memutuskan untuk menghilang dari kabut merah yang mencekam hatiku.
Sudahlah lupakan pertanyaan yang membuatku seperti menelan duri. Terkadang akupun ragu untuk memikirkan sesuatu. Hidup ini memang sebuah teka-teki, jika aku salah langkah maka akan besar akibatnya. Akupun melangkah menuju sebuah jalan, tetapi jalan kali ini menghantarkanku pada sebuah gemerlapnya dunia malam. Aku mendengar suara mereka yang diiringi dengan lampu yang berdendang. Menurutku mereka itu seperti menelan jeruji besi, sungguh malang yang mereka lakukan. Akupun tak dapat menerka dengan semua ini. Bagiku hanyalah sebuah kiasan kata yang mereka nikmati dan hanya mereka yang dapat mengakhiri. ‘’Ya Tuhan untuk apa kau ciptakan dunia ini? Kataku sambil meneteskan air mata. Sudahkah mereka pikirkan akhir kehidupan ini. Tapi tetaplah hidup membuat kehidupan yang nyata dan dibalik sisi ada sebuah rahasia yang belum terungkap di dalamnya.
Seiring berjalannya waktu, aku kembali melangkahkan kaki menuju sebuah jalan. Jalan apakah yang akan ku tempuh selanjutnya, mungkinkah sebuah gambaran yang ingin diungkapkan penulis pada setiap episode yang kulihat. Entahlah, kembali aku mendapat sebuah teka-teki dalam setiap jalan yang ku hampiri. Lalu aku terdampar pada sebuah lukisan Rakyat Anai-Anai. Kulihat hidup mereka seperti mendapat siksaan yang amat perih. Dimanakah letak keadilan bagi kehidupan mereka? ‘’Tolong, kami tidak sanggup menjalani kehidupan ini’’, kata beberapa Rakyat Anai-Anai yang menjerit dan meronta. Kulihat mereka tak dapat melawan setiap kobaran api yang menyala. Inikah hidup yang sebenarnya? Tanyaku dengan pandangan hampa. Di balik sebuah sisi aku melihat Rakyat Tikus yang rakus akan makanan. ‘’Hidupku kami bagai di surga, inilah sebenarnya keadilan bagi kehidupan kami yang memiliki kekuasaan yan abadi’’, kata beberapa Rakyat Tikus yang tertawa gembira. Mereka tak memikirkan Rakyat Anai-Anai yang menderita. Kembali aku bertanya, Apakah mereka hanya memikirkan kepuasan mereka? Lukisan ini memberikanku sebuah kepahitan yang mendalam.
Sudahkah aku mendapat makna tentang setiap lukisan yang kulihat. Akupun masih ragu untuk menerka semua ini. Hatiku masih diambang kegelisahan yang membuatku sulit menerima semua ini. Mungkinkah setiap gambaran yang kulihat mengandung makna samudera di dalamnya. Apakah hidup seperti samudera itu memiliki cobaan yang sangat sulit dihadapi? Akupun tak mengerti dengan semua pertanyaan itu. Lalu kembalilah aku di tunjukkan pada sebuah gerbang jalan yang sangat gelap bahkan hampir tidak memiliki titik terang di dalamnya. Jalan apakah ini? Tanyaku dengan hati yang takut. Lalu untuk apa aku dibawa ke tempat yang hampir membutakan setiap hati dan pikiranku.
Mungkinkah ini lukisan yang terakhir dalam setiap perjalanan yang ku tempuh. Kembalilah aku dalam sebuah permainan teka-teki yang membuatku bertanya-tanya. Sejenak terdiam, lalu saat itulah aku melihat sebuah kehidupan yang sangat kusam. Tak adapun terlihat kedamaian di dalamnya. Mereka seperti Singa yang mengamuk bahkan ingin terus menjatuhkan musuh-musuhnya. Apakah mereka hanya menginginkan kekuasaan yang abadi? Tanyaku dengan amarah yang mendalam. ‘’Akulah Raja dari segala Raja, barang siapa yang ingin bersaing denganku maka bersiap untuk merasakan kepahitan’’, kata Raja Singa yang mengaum keras seperti halilintar yang menyambar. Kau pikir tahtamu itu surgamu yang abadi. Lihatlah dari semua penjuru, kaupun tak sebanding dengan satu tetes air di samudera yang luas. Sungguh tak berarti lukisan yang hanya menggambarkan kekuasaan belaka.
Inikah jalan yang akan ku hadapi dari setiap perjalanan hidupku. Hidup memang tak memberikan sebuah jaminan untuk kebahagian yang abadi. Tapi bagiku hidupku bagai samudera yang tak dapat di samakan dengan semboyan belaka, aku memandang bagi setiap kehidupan mereka itu adalah sebuah lukisan. Lukisan itu hanya membuat sebuah kisah pada setiap episode yang di tayangkan. Akulah samudera yang luas memberikan setiap makna yang belum terungkap dan memberikan lukisan bagi arti sebuah kehidupan yang abadi.


***The End***

1 komentar:

Blog Archive