“Apa?
Lima juta?” Ujar Tomi setengah teriak. Kaget.
“Iya
Pak. Jika ibu Bapak baru bisa pulang setelah biaya administrasinya beres.”
Jawab sang suster setengah tenang.
Jantung
Tomi masih berdetak kencang. Kaget. Ditambah kebingungan mendapatkan uang lima
juta rupiah. Dari mana dia akan mendapatkan uang sebanyak itu? Dan berapa lama
waktu dia untuk bisa mendapatkan uang berlembar-lembar itu? Seminggu? Dua
minggu? Tapi bukankah, semakin lama ibunya di rumah sakit, maka biaya perawatan
juga akan semakin bertambah?
“Tidak,
ibu harus secepatnya keluar dari rumah sakit.” Bisiknya pelan.
“Jadi
gimana, Pak?” Ujar suster di hadapannya.
“Ah?
Iya sus, saya saya akan secepatnya membereskan administrasinya.”
Suster
berseragam putih biru itu lalu menyodorkan berkas persetujuan operasi pada
Tomi. Dengan segala kebingungan dan debaran jantungnya yang semakin kencang,
Tomi menandatanganinya. Pasrah.
***
“Wei,
siang-siang melamun.” Seseorang dari belakang menepak pundak Tomi. “Udah dapat
banyak duit lo?”
“Eh,
Bang Jaka.” Ujar Tomi tanpa semangat.
“Gimana
si Emak?”
“Emak
udah di operasi, tapi sekarang belum bisa pulang karena belum bayar
administrasinya. Saya bingung uangnya dari mana, bang. Dari ngojek gini dapat
berapa sih sehari. Abang juga tahukan?” Keluh Tomi.
“Kenapa
lo gak minjem ke Bang Dulloh aja? Dia kan biasa minjemin uang. Kali aja lo bisa
dapat pinjeman dari dia.”
“Bang
Dulloh? Rentenir itu?” Tomi setengah kaget.
“Iyah.
Yaaaa, walaupun dia rentenir setidaknya untuk saat ini dia bisa bantu lo dan
emak lo. Daripada minjem ke bank? Bisa lo?” Bang Jaka mulai membuka buku TTS.
Kebiasaannya ketika mengunggu penumpang.
Tomi
baru teringat bang Dulloh. Tapi, apa memang harus sama bang Dulloh dia pinjam
uang? Rentenir itu?
“Heh,
Tom, mending lo pikirin lagi buat pinjem ke bang Dulloh.” Seorang tukang ojek, rekan
Tomi, duduk di sampingnya. “Kita-kita udah tau kabar emak lo. Bukannya
kita-kita gak mau bantu, cuma lo taukan kebanyakan dari kita udah punya anak
bini? Buat sendiri aja masih pas-pasan, apalagi bantu elo. Jadi mending lo
timbang-timbang lagi usulan si Jaka itu.”
“Iya
Bang, tar saya pikir-pikir lagi. Makasih ya Bang.”
Siang
berlalu, langit sore telah siap memayungi perkampungan kumuh tempat Tomi
tinggal. Warna kuning langit sore mamberikan panorama langit yang indah. Tomi
terbaring di atas atap rumahnya, memandangi langit sore, merenungi jejak-jejak
kehidupannya. Kemiskinan. Itulah kondisi yang disesalinya.
Sesal?
Memang siapa yang membuat dirinya miskin? Dirinyakah? Atau keadaan? Siapa yang
harus disalahkan kalau ia hanya bisa sekolah sampai lulus SMP. Siapa yang salah
jika ia tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan akhirnya sekarang hanya
bisa ngojek. Siapa yang salah jika ia berpendapatan rendah.
Tiba-tiba
bayangan wajah bang Dulloh melintasi pikirannya.
“Bang
Dulloh?” Desahnya.
Tomi
kemudian bangun, bergegas menuju ke suatu tempat.
Tiga
hari berlalu. Tomi masih menimbang-nimbang resiko pinjam uang ke bang Dulloh.
Tapi pada siapa lagi ia harus meminta pinjaman uang? Saudara-saudaranya yang
ada tidak bisa meminjamkan dia uang. Sedang emaknya harus segera keluar dari
rumah sakit. Tapi belum sepeser pun ia miliki. Haruskan pada bang Dulloh?
Tidak. Alasan pertama, ia tahu minjam ke rentenir itu dosa. Walau ia tidak
pernah ngaji lagi, tapi ia sadar akan dosa bagi yang berhubungan dengan
penggandaan pinjaman uang. Kedua, kalaupun pinjam, darimana ia akan bayar uang
cicilannya?
Sore
menjelang kembali. Tomi memutuskan untuk ke rumah sakit, menjenguk emaknya.
Sesampai di rumah sakit, betapa jantungnya seakan mau copot. Seorang suster
yang baru selesai mengecek kondisi emaknya dengan tersenyum ramah berkata, “Pak
Tomi selamat yah, besok ibu Bapak sudah bisa pulang.”
“A,
apaa sus? Bisaaaa pulang?” Gugup.
“Iya.
Tadi ada bapak-bapak yang menjenguk dan beliaulah yang membereskan
administrasinya.”
“Siapa
namanya, sus?”
Suster
diam. Lalu dari balik pintu, masuklah seseorang.
“Itu
orangnya.” Tunjuk suster pada seseorang yang baru masuk.
Tomi
menoleh. “Pak Hajiiii…” Kaget.
Suster
berlalu. “Permisi, Pak.”
Tomi
segera menghampiri Pak Haji lalu mencium tangannya. “Pak Haji.” Tomi memandangi
wajah Pak Haji, lekat.
“Bapak
denger dari tetangga, ibu kamu belum bisa pulang sebelum beres administrasi
rumah sakitnya. Makanya Bapak berusaha membantu. Daripada kamu pinjam ke si
Dulloh itu.”
“Terima
kasih pak Haji.” Mata Tomi mulai berkaca-kaca. Sekali lagi ia menciumi tangan
pak Haji. “Terima kasih.” Desaknya akan menangis.
“Sudahlah.
Almarhum bapakmu adalah sahabat dekat bapak. Jadi jangan sungkan-sungkan pada
Bapak yah.”
“Terima
kasih, Pak haji.”
Sore
itu, Tomi bisa membawa pulang emaknya, dibarengi pak Haji.
***
0 komentar:
Posting Komentar