Selasa, 27 November 2018

CERPEN PELUKAN SENJA TERAKHIR


“Jaman kamu itu enak nduk, tidak seperti jaman eyang dulu. Tapi sayang, remaja jaman sekarang itu sering menyalahgunakan kemajuan teknologi.” cerita eyangku yang sedari tadi menemaniku menyelesaikan skripsiku, bersama keindahan senja sore ini. Aku hanya tersenyum melihat eyangku terpukau melihat kelincahan jemariku yang menari nari di atas keyboard laptopku.
“Nduk, kamu jangan terlalu larut dalam kerjaan. Sepertinya kamu sudah lelah, sebentar lagi adzan magrib.” kata eyang menasehatiku, aku tersenyum melihat sosok wanita tua yang sangat berarti dalam hidupku.
“Iya eyang, ini sudah selesai kok, Zakiya beresin dulu ya, terus kita sholat magrib bersama.” jawabku seraya membereskan buku-buku ku serta mematikan laptopku.
“Eyang masuk dulu.” kata eyang lalu masuk ke rumah. Aku segera menyusul eyang.
Selepas isya aku masuk ke kamar. Seperti biasanya, sebelum tidur aku melihat bintang terlebih dahulu.
“Ayah, bunda, Zakiya kangen. Ayah bunda tunggu Zakiya di surga ya.” kataku menatap dua bintang yang paling bersinar, yang ku anggap sebagai ayah dan bunda yang menemaniku tiap malam.
Aku memang anak yatim piatu, ayahku meninggal ketika aku berusia 6 bulan, sedangkan bunda meninggal ketika aku berusia 2 tahun. Satu-satunya anggota keluarga yang aku miliki hanyalah eyang. Ayah dan bunda adalah anak semata wayang, begitu pula aku. Aku hidup berdua dengan eyangku. Sosok yang bertahan hidup karena tak tega melihatku sebatang kara. Tak terasa air mataku jatuh membasahi kerudungku. Rayuan mimpi indah telah berhasil meninabobokanku, hingga aku terlelap dalam tidurku.
Seperti biasanya aku bangun pukul tiga dini hari, untuk melaksanakan sholat malam, lalu aku berdzikir sambil menunggu adzan subuh tiba.
Senja itu aku duduk di halaman rumah bersama eyang untuk menikmati senja bersama secangkir teh seperti biasanya.
“Senja kali ini begitu indah ya nduk.” guman eyang menatap ke arah langit.
“Iya eyang. Indah sekali, ingin rasanya setiap hari merasakan keagungan-Nya bersama eyang” kataku seraya menyandarkan kepalaku di bahu eyang.
“Iya nduk” memebelai lembut kepalaku yang dibalut kerudung warna unggu kesukaanku.
“Senja ini akan terasa lebih indah lagi jika Ayah dan Bunda ada di sini bersama kita.” kataku berandai-andai.
“Sudah nduk, jangan mengeluh seperti itu. Suatu saat kamu akan berkumpul lagi dengan ayah bundamu nduk” Eyang menenagkanku seraya memelik erat tubuhku. Pelukan yang hanya kuperoleh darinya.
“Iya eyang. Oh iya, eyang besok bisa datang ke acara wisuda S2 Zakiya kan?” tanyaku menatap eyang yang sudah tampak jelas kerut-kerut di wajahnya, namun senyuman selalu menghiasi wajahnya.
“Iya nduk, eyang pasti datang.” kata eyang tersenyum
“Selamat ya kiya.” ucap teman-temanku menyalamiku. Alhamdulillah aku dinobatkan sebagai mahasiswa terbaik dengan IP ku yang mendekati sempurna.
“Selamat ya nduk” kata eyang senja itu.
“Iya eyang, ini semua berkat doa dan dukungan eyang.”
“Kamu jangan pernah lupa ya nduk segala nikmat itu karena Allah, selalu bersyukur.” kata eyang menasehatiku.
“Iya eyang,” kataku tersenyum
“Kamu sekarang sudah dewasa nduk, semakin cantik. Eyang bangga punya cucu seperti kamu. Eyang sudah ikhlas jika eyang nanti harus meninggalkanmu sendiri. Eyang rasa kamu sudah mampu menjaga diri.” kata-kata eyang membuatku menangis
“Eyang, kok eyang berkata seperti itu, kiya masih butuh eyang. Apa eyang tidak ingin melihat anakku nanti?” tanyaku penuh isak tangis memeluk erat tubuh eyang yang semakin lemah.
“Eyang maunya begitu nduk, kalau perlu eyang akan selalu ada sampai kiya tiada.” eyang mengelus kepalaku yang sedari tadi kusandarkan di bahu eyang. kurasakan belaian tersebut makin lama makin melemah, suasanapun sunyi.
“Eyang?” panggilku pada eyang, mendengar eyang tiada menjawab aku segera bangkit dari sandaran bahu eyang. Melihat mata eyang terpejam aku fikir eyang tertidur, namun wajah eyang terlihat putih pucat dan tidak bernafas.
“Eyang…” teriakku histeris lalu tak sadarkan diri.


***

0 komentar:

Posting Komentar

Blog Archive