“Jaman
kamu itu enak nduk, tidak seperti jaman eyang dulu. Tapi sayang, remaja jaman
sekarang itu sering menyalahgunakan kemajuan teknologi.” cerita eyangku yang
sedari tadi menemaniku menyelesaikan skripsiku, bersama keindahan senja sore
ini. Aku hanya tersenyum melihat eyangku terpukau melihat kelincahan jemariku
yang menari nari di atas keyboard laptopku.
“Nduk,
kamu jangan terlalu larut dalam kerjaan. Sepertinya kamu sudah lelah, sebentar
lagi adzan magrib.” kata eyang menasehatiku, aku tersenyum melihat sosok wanita
tua yang sangat berarti dalam hidupku.
“Iya
eyang, ini sudah selesai kok, Zakiya beresin dulu ya, terus kita sholat magrib
bersama.” jawabku seraya membereskan buku-buku ku serta mematikan laptopku.
“Eyang
masuk dulu.” kata eyang lalu masuk ke rumah. Aku segera menyusul eyang.
Selepas
isya aku masuk ke kamar. Seperti biasanya, sebelum tidur aku melihat bintang
terlebih dahulu.
“Ayah,
bunda, Zakiya kangen. Ayah bunda tunggu Zakiya di surga ya.” kataku menatap dua
bintang yang paling bersinar, yang ku anggap sebagai ayah dan bunda yang
menemaniku tiap malam.
Aku
memang anak yatim piatu, ayahku meninggal ketika aku berusia 6 bulan, sedangkan
bunda meninggal ketika aku berusia 2 tahun. Satu-satunya anggota keluarga yang
aku miliki hanyalah eyang. Ayah dan bunda adalah anak semata wayang, begitu
pula aku. Aku hidup berdua dengan eyangku. Sosok yang bertahan hidup karena tak
tega melihatku sebatang kara. Tak terasa air mataku jatuh membasahi kerudungku.
Rayuan mimpi indah telah berhasil meninabobokanku, hingga aku terlelap dalam
tidurku.
Seperti
biasanya aku bangun pukul tiga dini hari, untuk melaksanakan sholat malam, lalu
aku berdzikir sambil menunggu adzan subuh tiba.
Senja
itu aku duduk di halaman rumah bersama eyang untuk menikmati senja bersama
secangkir teh seperti biasanya.
“Senja
kali ini begitu indah ya nduk.” guman eyang menatap ke arah langit.
“Iya
eyang. Indah sekali, ingin rasanya setiap hari merasakan keagungan-Nya bersama
eyang” kataku seraya menyandarkan kepalaku di bahu eyang.
“Iya
nduk” memebelai lembut kepalaku yang dibalut kerudung warna unggu kesukaanku.
“Senja
ini akan terasa lebih indah lagi jika Ayah dan Bunda ada di sini bersama kita.”
kataku berandai-andai.
“Sudah
nduk, jangan mengeluh seperti itu. Suatu saat kamu akan berkumpul lagi dengan
ayah bundamu nduk” Eyang menenagkanku seraya memelik erat tubuhku. Pelukan yang
hanya kuperoleh darinya.
“Iya
eyang. Oh iya, eyang besok bisa datang ke acara wisuda S2 Zakiya kan?” tanyaku
menatap eyang yang sudah tampak jelas kerut-kerut di wajahnya, namun senyuman
selalu menghiasi wajahnya.
“Iya
nduk, eyang pasti datang.” kata eyang tersenyum
“Selamat
ya kiya.” ucap teman-temanku menyalamiku. Alhamdulillah aku dinobatkan sebagai
mahasiswa terbaik dengan IP ku yang mendekati sempurna.
“Selamat
ya nduk” kata eyang senja itu.
“Iya
eyang, ini semua berkat doa dan dukungan eyang.”
“Kamu
jangan pernah lupa ya nduk segala nikmat itu karena Allah, selalu bersyukur.”
kata eyang menasehatiku.
“Iya
eyang,” kataku tersenyum
“Kamu
sekarang sudah dewasa nduk, semakin cantik. Eyang bangga punya cucu seperti
kamu. Eyang sudah ikhlas jika eyang nanti harus meninggalkanmu sendiri. Eyang
rasa kamu sudah mampu menjaga diri.” kata-kata eyang membuatku menangis
“Eyang,
kok eyang berkata seperti itu, kiya masih butuh eyang. Apa eyang tidak ingin
melihat anakku nanti?” tanyaku penuh isak tangis memeluk erat tubuh eyang yang
semakin lemah.
“Eyang
maunya begitu nduk, kalau perlu eyang akan selalu ada sampai kiya tiada.” eyang
mengelus kepalaku yang sedari tadi kusandarkan di bahu eyang. kurasakan belaian
tersebut makin lama makin melemah, suasanapun sunyi.
“Eyang?”
panggilku pada eyang, mendengar eyang tiada menjawab aku segera bangkit dari
sandaran bahu eyang. Melihat mata eyang terpejam aku fikir eyang tertidur,
namun wajah eyang terlihat putih pucat dan tidak bernafas.
“Eyang…”
teriakku histeris lalu tak sadarkan diri.
***
0 komentar:
Posting Komentar