Kecewa dan marah. Itulah yang aku rasakan saat ini. Aku
kecewa dengan keputusan yang telah ditetapkan. Dan aku marah karena keputusan
itu bukanlah sesuatu yang aku inginkan.
Sekarang aku berada di ruang keluarga, duduk berhadapan
dengan ayahku. Ayahku menatapku. Aku tahu arti tatapan itu. Itu adalah tatapan
kekecewaan, kecewa melihat hasil ujianku. Kecewa melihat nilai ujian
semesterku, nilai yang bisa membuat aku tidak lulus. Dan kecewa atas sikapku.
Aku baru saja bercerita kepada ayah tentang penyebab rendahnya nilaiku.
Sebenarnya, nilai rendah bukanlah kemauanku. Aku mampu
menyelesaikan soal-soal yang diberikan. Tetapi aku sengaja mengkosongkan
lembaran jawabanku. Aku punya alasan melakukannya. Aku melakukannya karena
tidak terima dengan keputusan kampus yang mengumumkan bahwa jurusan yang aku
ambil, Matematika Umum S1 akan dialihkan ke Matemaatika D3 untuk guru.
Ketetapan itu dibuat dengan alasan bahwa di Riau mengalami kekurangan tenaga
pengajar. Aku tentu saja menolak keputusan itu. Teman-temanku yang juga menolak
bahkan telah mantap ingin pindah jurusan.
Aku sebenarnya tidak ingin menjadi guru, karena aku tidak
memiliki minat dengan profesi tersebut. Dan aku ingin mengikuti langkah
teman-temanku untuk pundah jurusan. Tapi aku merasa terlalu tanggung, karena
pada saat itu aku hendak ujian semester.
Dan sebagai wujud rasa kesalku, aku tidak menjawab soal-soal
ujian. Itu adalah bentuk protesku. Bahkan aku telah mendapatkan beberapa kali
panggilan dari dosen sebelum nilai ujian keluar, karena heran melihat nilai
ujianku menurun drastis. Padahan aku termasuk salah satu mahasiswa yang
menonjol dan aktif. Tetapi aku tidak menghiraukan panggilan itu hingga nilai
ujianku keluar.
Dan disinilah aku sekarang. Di depan ayahku. Menanti
tanggapan apa yang akan diberikannya padaku. Apakah ayah akan marah? Atau
bahkan setelah ini dia tidak akan ambil peduli?
Sesaat kemudian, aku mendengar helaan nafas ayah. Terdengan
berat. Kemudian ayah berkata, “untuk saat ini, jangan dipikirkan jadi apa kita
nanti, tapi pikirkan ilmunya. Karena dengan ilmu yang kita dapatlah, bisa
membawa kita ke arah yang kita inginkan. Berbeda dengan yang awal, kali ini aku
mendengar nada suara ayah yang tenang.
Dan untuk sesaat aku tertegun. Memikirkan kata-kata yang
baru saja keluar dari mulut ayah. Ayah benar. Selama ini aku belajar untuk
mencari ilmu. Begitu bodohnya aku mensia-siakan ilmuku hanya karena keputusan
kampus. Aku mengangkat wajahku yang sedari tadi tertunduk dan menatap ayah.
“Aku mengerti ucapan ayah. Dan sekarang apa yang harus aku lakukan?”
“Mumpung masih ada waktu, pergilah temui dosenmu dan minta
ujian perbaikan. Ayah yakin dosenmu akan menerimanya karena mereka tahu kamu
bukanlah orang bodoh yang mau mensia-siakan nilaimu tanpa alasan yang jelas.
Aku mengiyakan perkataan ayah. Dan keesokan harinya, aku
menemui dosenku untuk meminta ujian perbaikan. Dosenku juga sempat bertanya
mengapa lembaran jawabanku kosong, lalu aku menceritakan alasanku. Dan ternyata
tanggapan dosenku sama dengan ayahku. Agar aku terfokus pada ilmu yang aku
dapat, bukan profesi apa yang akan aku jalani.
Aku mempunyai waktu seminggu untuk memperbaiki
nilai-nilaiku. Dan seperti yang ayahku bilang, aku bukanlah orang bodoh. Aku
mampu menyelesaikan semua soal ujian. Dan nilaiku yang keluar hampir semuanya
A. Dan karena aku dikuasai kemarahan dan kekesalan, aku mengabaikan nilaiku dan
lebih mengutamakan keinginanku.
Selanjutnya aku tetap pada jurusan yang aku ambil. Aku akan
mencoba menjalaninya. Dan secara perlahan-lahan aku mulai menyukai Matematika
D3 yang aku jalani. Itu karena sekarang aku mementingkan ilmu yang aku dapat,
bukan lagi memikirkan profesi guru yang akan aku jalani setelah lulus dari
kampus ini. Dan aku sadar dengan ilmu yang ada pada diriku, bisa membawaku
kemanapun yang aku inginkan. Seperti yang telah dikatakan oleh ayahku.
***
0 komentar:
Posting Komentar