Kamis, 17 Januari 2019

Kumpulan Sejarah dan Tragedi Di Aceh

SEJARAH TEUNGKU CHIK DI AWE GEUTAH

Dikisahkan Cut Teumeuruhom, Teungku Chik Awe Geutah bernama asli Abdul Rahim bin Muhammad Saleh. Dia seorang ulama Sufi, yang berasal dari Kan’an, Iraq. Kemudian merantau dan menetap di Desa Awe Geutah, sampai dia meninggal di sana. Namun tidak diketahui persisnya tahun berapa dia pertama kali menginjakkan kaki di desa pedalaman Kecamatan Peusangan Siblah Krueng itu. Di batu nisannya pun tidak tertera tahun meninggal ulama besar tersebut.


Perjalanannya mencari Awe Geutah sebagai tempat menetap, sekaligus mengembangkan agama Islam yang aman dan damai, punya kisah tersendiri. Syahdan sekitar abad ke 13 yang lampau, Abdul Rahim bin Muhammad Saleh sekeluarga, serta tiga pria saudara kandungnya, dan sejumlah pengikutnya melakukan hijrah.
Mereka meninggalkan tanah kelahirannya.Sebab, waktu itu ada pertentangan antar pemeluk agama Islam di sana, meyangkut perbedaan khilafiyah. Untuk menghindari perselisihan yang bisa berakibat perpecahan antar pemeluk agama Islam itulah Abdul Rahim bersama keluarga dan para pengikutnya berinisiatif melakukan hijrah ke tempat lain.
Pencarian untuk mendapatkan negeri yang aman dan tenteram itu, membuat mereka harus menyingggahi beberapa tempat. Pertama Abdul Rahim beserta rombongan mendarat di kepulauan Nicobar dan Andaman di Samudera Hindia. Kemudian singgah di pulau Weh. Lalu ke pulau Sumatera, yang waktu itu mereka menyebutnya pulau Ruja. Di pulau tersebut mereka menetap beberapa saat di Gampong Lamkabeu, Aceh Besar.
Merasa belum menemukan tempat yang cocok sebagai tempat menetap, lalu mereka melanjutkan lagi pelayaran. Namun seorang saudara kandung Abdul Rahim tidak mau lagi melanjutkan perjalanan. Namanya tidak diketahui persis. Dia saat itu sudah memantapkan pilihan hatinya untuk bertahan di sana. Konon kabarnya dia kemudian menetap di Tanoh Abee. Di sana dia membangun tempat pengajian. Kelak dia lebih dikenal dengan nama Teungku Chik Tanoh Abee.
Sedangkan pengikut rombongan Abdul Rahim kemudian melanjutkan pengembaraannya. Rombongan tersebut akhirnya mendarat di Kuala Jangka (Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen-red). Sebab, mereka melihatdi situ banyak pelayar yang singgah. Di sana mereka mendapati beberapa toke dari India yang melakukan transaksi penjualan pinang di Kuala Jangka. Salah satunya bernama Cende. Dia mengaku kepada Abdul Rahim, sudah sering pulang-pergi ke Kuala Jangka. Waktu itu Kuala Jangka sudah menjadi pelabuhan yang maju, dan disinggahi para pedagang dari berbagai negara.
Rombongan Abdul Rahim kemudian menetap di Asan Bideun (Sekarang Desa Asan Bideun, Kecamatan Jangka-red). Mereka tinggal beberapa waktu dan mendirikan balai pengajian untuk mengembangkan dan mengajarkan ilmu agama Islam kepada penduduk di sana. Suatu hari Abdul Rahim melihat beberapa perempuan setempat, termasuk istrinya, yang kemudian dikenal dengan nama Teungku Itam, pulang mencuci di sungai dengan berkemben (memakai kain yang menampakkan bagian dada atas). Melihat pemandangan yang tidak biasanya itu, Abdul Rahim punya firasat lain. Dia berkesimpulan, Asan Bideun bukanlah tempat yang cocok sebagai tempat mereka menetap. Negeri itu sudah laklim.
Lalu mereka sepakat pindah ke tempat lain. Kali ini rombongan terpecahb lagi, mereka terbagi tiga kelompok. Satu kelompok yang dipimpin adiknya Abdul Rahim menuju Paya Rabo dan menetap di sana (Sekarang Desa Paya rabo masuk wilayah Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara). Kelompok yang dipimpin adiknya yang lain pergi dan menetap di Pulo Iboh (Sekarang masuk wilayah Kecamatan Jangka).
Sedangkan satu kelompok lagi yang dipimpin Abdul Rahim sendiri hijrah ke Keudee Asan (Sekarang masuk wilayah Kecamatan Peusangan Selatan). Di sana rombongan tersebut sempat menetap beberapa waktu, dan mengadakan pengajian bagi penduduk setempat.
Namun setelah sekian lama menetap di Keudee Asan, dia merasa tempat itu belum cocok untuk dijadikan tempat menetap yang benar-benar sesuai keinginannya. Untuk itulah Abdul Rahim melaksanakan shalat istikharah empat malam berturut-turut, untuk memohon petunjuk dari Allah, dan harus naik ke atas bukit menghadap empat arah penjuru mata angin.
Malam pertama setelah Abdul Rahim melaksanakan shalat istikharah tengah malam, dia naik ke sebuah bukit yang cukup tinggi, namanya Gle Sibru (Sekarang masuk wilayah Desa Cibrek, Kecamatan Peusangan Selatan). Di atas bukit itu Abdul Rahim berdiri menghadap ke arah selatan. Agak lama juga dia menatap ke sana, namun tidak tampak apa-apa. Yang terlihat hanya pucuk labu. Konon kabarnya, pucuk labu yang dilihat Abdul Rahim itu adalah Desa Geulanggang Labu, Kecamatan Peusangan Selatan sekarang.
Malam kedua, setelah shalat istikharah, Abdul Rahim naik lagi ke atas bukit tersebut. Kali ini dia menghadap ke arah barat, tapi dia tidak melihat apapun. Malam berikutnya dia juga melakukan hal yang sama, dengan menghadap ke arah utara. Hasilnya tetap nihil, tidak mendapatkan petunjuk apa-apa.
Baru pada malam keempat Abdul Rahim mendapatkan hasilnya. Ketika dia menghadap ke arah timur, pandangan matanya terlihat sesuatu. Seberkas cahaya putih bersih dia lihat menyembul di sana. Abdul Rahim berkeyakinan, di daerah sembulan kilauan cahaya itulah tempat yang aman dan damai sebagai tempat tinggal yang permanen.
Maka keesokan harinya mereka langsung berangkat menuju ke daerah asal cahaya tadi. Singkat cerita, sesuai petunjuk Abdul Rahim yang memimpin perjalanan, tibalah mereka di sebuah tempat yang diyakininya sebagai daerah asal cahaya itu.
Saat itu, di sana masih berhutan belantara. Kemudian hutan-hutan itu mereka tebang dan bersihkan untuk dijadikan perkampungan. Suatu hari sambil melepas lelah, setelah capek bergotong-royong, Abdul Rahim menanyakan pada rekan-rekannya, apa nama yang cocok ditabalkan untuk tempat pemukiman baru itu. Ada beberapa nama yang diusulkan mereka, tapi dirasakan tidak ada yang cocok.
Seorang di antara mereka, sambil duduk-duduk membersihkan getah rotan yang lengket di tangannya, mengusulkan sebuah nama. “Untuk apa capek-capek memikirkan nama. Bagaimana kalau kita namai saja Awe Geutah?” tanya orang itu. Usulan itu pun diterima Abdul Rahim dan rekan-rekan mereka yang lain. Nah, sejak saat itulah tempat pemukiman baru mereka itu dinamakan Awe Geutah

***


KISAH PUTRO NENG

Suatu hari dalam sejarah, tersebutlah sebuah kisah perjuangan seorang laksamana yang menuai cerita fakta dan mitos, jauh sebelum kita mengenal Cut Nyak Dhien, Malahayati bahkan Ratu Safiatuddin sekalipun. Kisahnya lebih terdengar lama saat Islam belum memasuki nanggroe (red: negeri) yang saat ini lebih terkenal dengan syariat islamnya. Bermulalah di sana cerita, ketika Hindu dan Buddha masih menguasai Aceh dan cikal bakal masuknya Islam sehingga berganti nama menjadi Aceh Darussalam.
Bernama asli Nian Nio Liang Khie, dia adalah putri dari Liang Khie yang merupakan laksamana perang wanita dari Tiongkok, membawa dua ribu pasukan perempuan berpakaian serba merah, berhasil menaklukkan Kerajaan Indra Jaya, Indra Patra dan Indra Puri. Sebuah sejarah lama yang berhasil membuktikan, bahwa di tangan seorang wanita, kerajaan manapun dapat tegak berdiri. Bernama Kerajaan Seudu, sebuah kerajaan pengganti kerajaan Hindu Indra Jaya yang terletak di Panton Bie (saat ini berlokasi di sekitaran Sibreh, Aceh Besar).
Nasib Indra Jaya saat itu tidak seindah nasib kerajaan tetangganya yang berkawasan di Lamuri, bernama Kerajaan Indra Purba. Di bawah kekuasaan Raja Indra Sakti, Kerajaan Indra Purba berhasil menaklukkan serangan dari prajurit bercambang Cola Mandala yang ingin merebut wilayah kerajaan tersebut. Namun saat itu, Maharani Liang Khie memang telah berniat akan memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke Kerajaan Indra Purba. Ketika itu semua menakuti Liang Khie dan anaknya, mereka tidak hanya dianggap sebagai wanita biasa, namun sebagai wanita perenggut nyawa ribuan prajurit di ujung pedang.
Kabar mengenai kekuatan Nian Nio Liang Khie dan ibunya serta keinginan mereka untuk merebut Indra Purba akhirnya diketahui oleh Indra Sakti. Ia pun akhirnya meminta bantuan dari laskar perang milik Kerajaan Islam di Peureulak untuk membantu melawan Kerajaan Seudu pada tahun 1180 M. Bukan tanpa balasan mengapa pada akhirnya Kerajaan Peureulak ingin membantu Indra Purba, tentunya setelah berkoalisi dan Raja Indra Sakti menerima Islam disebarluaskan di daerah Lamuri.

Di bawah pimpinan Syeikh Hudam dan Meurah Johan (putra bungsu Adi Geunali dari Kerajaan Lingga- yang saat ini berlokasi di daerah Takengon) dan para tentara Kerajaan Peureulak yang sebagian besar adalah murid Zawiyah Cot Kala, akhirnya Kerajaan Indra Jaya terselamatkan. Liang Khie tewas dalam peperangan dan saat itu Nian Nio Liang Khie menjadi tawanan perang. Sedangkan Meurah Johan akhirnya membentuk Kerajaan Darud Donya Aceh Darussalam bersama Syeikh Hudam, dan menikah dengan Putri Indra Kusuma, putri bungsu dari Indra Sakti (raja kerajaan Indra Purba sebelumnya).
Walaupun menjadi tawanan perang, kecantikan Nian Nio Liang Khie tidak pernah pudar. Bahkan beberapa cerita mengatakan, Meurah Johan telah menyukainya sejak dari awal pertemuan mereka di dalam perang, jauh sebelum dia menikahi Putri Indra Kusuma. Ketenaran kecantikan Nian Nio ini sudah terlebih dahulu menggema saat dia menjadi laksamana perang, namun saat itu tidak ada yang berani mendekat sebelum nyawa berada di ujung pedang miliknya. Sampai akhirnya Nian Nio Liang Khie menyerah, dan memilih bergabung dengan Kerajaan Darud Donya Aceh Darussalam. Layaknya pungguk yang sudah sangat lama merindukan bulan, cinta Meurah Johan pun akhirnya bisa terlabuhkan. Ia akhirnya menikahi Nian Nio Liang Khie, dan perempuan ini memilih masuk Islam. Sejak saat itulah namanya berubah menjadi Putroe Neng.

Namun tak disangka, nasib Meurah Johan pun berakhir di ujung ranjang. Ia tidak pernah menyadari bahwa menaklukkan Putroe Neng tidak semudah menaklukkannya di laga perang. Pagi setelah malam yang seharusnya menjadi malam pertamanya, Meurah Johan didapatkan terbujur kaku dengan kulit tubuh membiru. Walaupun sebab kematian Meurah Johan menjadi misteri, namun sepertinya misteri tersebut menjadi sebuah laga penasaran yang membuat para saudagar kaya berani mencoba untuk melamar Putroe Neng menjadi istri dan mencoba peruntungan diri apakah akan berlawanan nasib dengan apa yang terjadi pada Meurah Johan.
Kalau bukan cerita kecantikan Putroe Neng yang sudah terlanjur terkenal, manalah mungkin mereka rela untuk menghabiskan banyak harta dan rela untuk berbagi wilayah kekuasaan, demi Putroe Neng seorang. Begitulah Putroe Neng, ia hanya akan benar-benar mau untuk menerima siapapun yang bersedia menikahinya dengan mahar yang tinggi. Jika tidak, apalagi dengan tidak adanya hubungan halal, Putroe Neng tidak akan mau untuk disentuh dengan ketentuan apapun. Namun nyatanya, sampai 99 lelaki yang pernah menjadi suaminya hanya akan mengatakan “nanti malam saya akan tidur dengan Putroe Neng“, tentunya dengan penuh kebanggaan, tanpa ada yang berhasil mengatakan “semalam saya telah tidur dengan Putroe Neng“, sebab ke 99 lelaki itu akhirnya tewas tepat di malam pertama.
Apakah ke 99 suami Putroe Neng ini dibunuh oleh Putroe Neng? Jawabannya tidak, Putroe Neng tidak melakukan apapun. Semua kejadian tersebut dikarenakan racun yang telah ditanamkan di kemaluannya oleh nenek Putroe Neng yang bernama Khie Nai-Nai saat ia masih remaja. Racun ini merupakan kumpulan bisa beberapa binatang yang diramu oleh neneknya dan bertujuan untuk melindungi Putroe Neng dalam masa-masa perang yang sulit diperkirakan. Ia berpesan:
Banyak laki-laki mati dalam peperangan, tapi biasanya perempuanlah yang paling menderita. Terlebih perempuan yang cantik. Kecantikan kadang menjadi berkah, tapi dalam perang seringkali menjadi kutukan. Perempuan cantik kadang tidak mati, tetapi tidak juga hidup sehingga akan lebih menderita.
Satu-satunya orang yang berhasil mengeluarkan racun tersebut yaitu Syeikh Syiah Hudam yang tidak lain adalah penasehat dari Meurah Johan. Ia menjadi suami ke 100 dari Putroe Neng dan menjadi suami terakhir yang menemani Putroe Neng hingga akhir hayat. Syeikh Syiah Hudam membawa Putroe Neng pulang ke Peureulak dan bersama-sama mendakwahkan Islam di sana. Setelah racun dicabut, kecantikan Putroe Neng yang selalu terlihat awet muda luruh menjadi terbalik, ia bahkan lebih terlihat tua dari umurnya dan bahkan lebih tua dari pelayan setianya, Yupie Tan. Ia pun sering sakit-sakitan dan juga tidak memiliki anak. Namun, Syeikh Syiah Hudam selalu menyayangi Putroe Neng dengan apa adanya. Sampai pada akhirnya Putroe Neng meninggal dan dimakamkan di Desa Blang Pulo (saat ini Lhokseumawe) berdekatan dengan makam Syeikh Syiah Hudam.
***
Sejarah Lahirnya GAM (Gerakan Aceh Merdeka)

Bicara GAM (Gerakan Aceh Merdeka), mau tak mau, harus bicara kelahiran negara Republik Indonesia. Sebab, dari situlah kisah gerakan menuntut kemerdekaan dimulai. Lima hari setelah RI diproklamasikan, Aceh menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Jakarta. Dibawah Residen Aceh, yang juga tokoh terkemuka, Tengku Nyak Arief, Aceh menyatakan janji kesetiaan, mendukung kemerdekaan RI dan Aceh sebagai bagian tak terpisahkan. Pada 23 Agustus 1945, sedikitnya 56 tokoh Aceh berkumpul dan mengucapkan sumpah. ”Demi Allah, saya akan setia untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia sampai titik darah saya yang terakhir.”
Kecuali Mohammad Daud Beureueh, seluruh tokoh dan ulama Aceh mengucapkan janji itu. Pukul 10.00, Husein Naim dan M Amin Bugeh mengibarkan bendera di gedung Shu Chokan (kini, kantor gubernur). Teuku Nyak Arief Gubernur di bumi Serambi Mekkah.
Tetapi, ternyata tak semua tokoh Aceh mengucapkan janji setia. Mereka para hulubalang, prajurit di medan laga. Prajurit yang berjuang melawan Belanda dan Jepang. Mereka yakin, tanpa RI, mereka bisa mengelola sendiri negara Aceh. Inilah kisah awal sebuah gerakan kemerdekaan. Motornya adalah Daud Cumbok. Markasnya di daerah Bireuen. Tokoh-tokoh ulama menentang Daud Cumbok. Melalui tokoh dan pejuang Aceh, M. Nur El Ibrahimy, Daud Cumbok digempur dan kalah. Dalam sejarah, perang ini dinamakan perang saudara atau Perang Cumbok yang menewaskan tak kurang 1.500 orang selama setahun hingga 1946. Tahun 1948, ketika pemerintahan RI berpindah ke Yogyakarta dan Syafrudin Prawiranegara ditunjuk sebagai Presiden Pemerintahan Darurat RI (PDRI), Aceh minta menjadi propinsi sendiri. Saat itulah, M. Daud Beureueh ditunjuk sebagai Gubernur Militer Aceh.
Oleh karena kondisi negara terus labil dan Belanda merajalela kembali, muncul gagasan melepaskan diri dari RI. Ide datang dari dr. Mansur. Wilayahnya tak cuma Aceh. Tetapi, meliputi Aceh, Nias, Tapanuli, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkalis, Indragiri, Riau, Bengkulu, Jambi, dan Minangkabau. Daud Beureueh menentang ide ini. Dia pun berkampanye kepada seluruh rakyat, bahwa Aceh adalah bagian RI. Sebagai tanda bukti, Beureueh memobilisasi dana rakyat. Setahun kemudian, 1949, Beureueh berhasil mengumpulkan dana rakyat 500.000 dolar AS. Uang itu disumbangkan utuh buat bangsa Indonesia. Uang itu diberikan ABRI 250 ribu dolar, 50 ribu dolar untuk perkantoran pemerintahan negara RI, 100 ribu dolar untuk pengembalian pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis. Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membeli obligasi pemerintah, membiayai berdirinya perwakilan RI di India, Singapura dan pembelian dua pesawat terbang untuk keperluan para pemimpin RI. Saat itu Soekarno menyebut Aceh adalah modal utama kemerdekaan RI.
Setahun berlangsung, kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke Propinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh marah. Apalagi, janji Soekarno pada 16 Juni 1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak juga dipenuhi. Intinya, Daud Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh. Bukan dilarang. Beureueh tak minta merdeka, cuma minta kebebasan menjalankan agamanya sesuai syariat Islam. Daud Beureueh pun menggulirkan ide pembentukan Negara Islam Indonesia pada April 1953. Ide ini di Jawa Barat telah diusung Kartosuwiryo pada 1949 melalui Darul Islam. Lima bulan kemudian, Beureueh menyatakan bergabung dan mengakui NII Kartosuwiryo. Dari sinilah lantas Beureueh melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang notabene Islam, mendukung sepenuhnya ide NII itu. Tentara NII pun dibentuk, bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Lantas, terkenallah pemberontakan DI/TII di sejumlah daerah. Beureueh lari ke hutan. Cuma, ada tragedi di sini. Pada 1955 telah terjadi pembunuhan masal oleh TNI. Sekitar 64 warga Aceh tak berdosa dibariskan di lapangan lalu ditembaki. Aksi ini mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno. Melalui berbagai gejolak dan perundingan, pada 1959, Aceh memperoleh status propinsi daerah istimewa.
Beureueh merasa dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan struktur kepemimpinan adat dan tak menghargai peranan ulama dalam kehidupan bernegara. Padahal, rakyat Aceh itu sangat besar kepercayaannya kepada ulama. Gerilya dilakukan. Tetapi, Bung Karno mengerahkan tentaranya ke Aceh. Tahun 1962, Beureueh dibujuk menantunya El Ibrahimy agar menuruti Menhankam AH Nasution untuk menyerah. Beureueh menurut karena ada janji akan dibuatkan UU Syariat Islam bagi rakyat Aceh (baru terwujud tahun 2001).
GAM lahir di era Soeharto. Saat itu, sedang terjadi industrialisasi di Aceh. Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan segala penghormatan rakyat Aceh. Efek judi melahirkan prostitusi, mabuk-mabukan, bar, dan segala macam yang bertentangan dengan Islam dan adat rakyat Aceh. Kekayaan alam Aceh dikuras melalui pembangunan industri yang dikuasai orang asing melalui restu pusat. Sementara rakyat Aceh tetap miskin. Pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat memprihatinkan. Melihat hal ini, Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang sudah tenang kemudian bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan rakyat, adat Aceh dan agama Islam. Pertemuan digagas tahun 1970-an. Mereka sepakat meneruskan pembentukan Republik Islam Aceh, yakni sebuah negeri yang mulia dan penuh ampunan Tuhan. Kini mereka sadar, tujuan itu tak bisa tercapai tanpa senjata. Lalu diutuslah Zainal Abidin menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di Amerika. Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Tiro akan mengirim senjata ke Aceh. Zainal tak lain adalah kakak Tiro. Sayang, senjata tak juga dikirim hingga Beureueh meninggal. Hasan Asleh, Jamil Amin, Zainal Abidin, Hasan Tiro, Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi berkumpul di kaki Gunung Halimun, Pidie. Di sana, pada 24 Mei 1977, para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh mendirikan GAM. Selama empat hari bersidang, Daud Beureueh ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi. Sementara Hasan Tiro yang tak hadir dalam pendirian GAM itu ditunjuk sebagai wali negara. GAM terdiri atas 15 menteri, empat pejabat setingkat menteri dan enam gubernur. Mereka pun bergerilya memuliakan rakyat Aceh, adat, dan agamanya yang diinjak-injak Soeharto.

***



MENGENANG TRAGEDI BERDARAH
SIMPANG KRAFT ACEH 17 TAHUN LALU

Jakarta - Komnas HAM hari ini memutuskan peristiwa Simpang Kertas Kraft Aceh (KAA) yang terjadi 3 Mei 1999 sebagai pelanggaran HAM. Komnas HAM meminta Kejagung untuk mengusut kasus ini. Tragedi Simpang KKA adalah sebuah peristiwa penembakan yang dilakukan pasukan militer saat warga Aceh tengah berdemo. Peristiwa ini terjadi di sebuah persimpangan jalan dekat pabrik PT Kertas Kraft Aceh di Kecamatan Dewantara, Aceh Utara.
17 Tahun berlalu, namun peristiwa Simpang KAA masih meninggalkan duka yang mendalam bagi warga Aceh Utara. Hampir setiap tahunnya warga Aceh Utara memperingati insiden itu dengan kenduri dan doa bersama. Mereka berharap ada keadilan dalam peristiwa berdarah itu.
Melihat sejarahnya diambil dari berbagai sumber, tragedi simpang KAA terjadi saat warga berdemo memprotes penganiayaan warga yang terjadi pada tanggal 30 April di Cot Murong, Lhokseumawe. Kala itu, Jumat 30 April 1999 malam hari, warga Desa Cot Murong mengadakan rapat besar untuk memperingati tahun baru Islam 1 Muharam. Rapat ini dianggap ceramah Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Bersamaan dengan rapat tersebut, muncul kabar seorang anggota TNI dari kesatuan Den Rudal 001/Pulo Rungkom yang berpangkat sersan hilang saat melakukan penyusupan di tengah kegiatan ceramah. Namun informasi itu belum jelas kebenarannya, dan malam itu tidak terjadi apa-apa di Desa Cot Murong.
Besoknya sebuah truk militer berputar-puter di sekitar Desa Cot Murong, kemudian mereka kembali ke markas. Minggu pagi pasukan Den Rudal 001/Pulo Rungkom datang ke Desa untuk mencari anggotanya yang hilang. Saat itu warga tengah melakukan persiapan kenduri untuk memperingati 1 Muharam.
Saat melakukan penyisiran ke rumah-rumah, sebanyak 20 warga dianiaya anggota TNI. Disebutkan juga pasukan militer itu mengancam akan menembak warga bila anggotanya tak ditemukan. Namun mereka tak berhasil menemukan anggotanya yang hilang. Kondisi semakin mencemaskan itu mendorong warga Desa Cot Murong berkumpul untuk membahas masalah ini. Warga desa kemudian mengirim utusan ke komandan TNI setempat untuk bernegosiasi. Komandan TNI berjanji aksi ini tidak akan terulang lagi dan TNI tidak akan datang lagi ke desa.
Tanggal 3 Mei 1999 pagi hari 4 truk pasukan TNI datang ke Desa Lancang Barat yang bersebelahan dengan Desa Cot Murong. TNI melanggar kesepakatan untuk tidak kembali datang ke desa. Warga berunjuk rasa di Simpang KKA, mereka memprotes penganiayaan yang dilakukan TNI. Aksi warga dibalas tembakan oleh aparat TNI satuan Detasmen Rudal 001/Lilawangsa dan Yonif 113/Jaya Sakti.
Selain melakukan tembakan ke arah masa, TNI juga mengarahkan tembakan ke rumah-rumah penduduk, sehingga banyak warga yang sedang di dalam rumah juga menjadi korban. Koalisi NGO HAM Aceh mencatat sedikitnya 46 warga sipil tewas, 156 mengalami luka tembak, dan 10 orang hilang dalam peristiwa itu. Tujuh dari korban tewas adalah anak-anak.
Sedangkan kesimpulan Tim Ad Hoc Komnas HAM menyebutkan dalam peristiwa itu telah terjadi kejahatan kemanusiaan yaitu:
a.       Pembunuhan
Penduduk sipil yang menjadi korban pembunuhan sebagai akibat dari tindakan aparat TNI yang terjadi di Simpang KKA sekurang-kurangnya sebanyak 23 (dua puluh tiga) orang sebagai akibat penembakan.
b.      Penganiayaan (Persekusi)
Penduduk sipil yang menjadi korban penganiayaan (persekusi) sebagai akibat tindakan yang dilakukan oleh aparat negara yang terjadi di Simpang KKA tercatat sekurang-kurangnya sebanyak 30 (tiga puluh) orang.
Komnas HAM merinci individu/komandan militer yang yang dapat dimintai pertanggungjawabannya yaitu:
1.      Komandan pembuat kebijakan
a.       TNI pada saat Peristiwa Simpang KKA 1999
b.      Pangdam I/Bukit Barisan pada saat Peristiwa Simpang KKA 1999.
2.      Komandan yang memiliki kemampuan kontrol secara efektif (duty of control) terhadap anak buahnya
a.       Danrem 011 / Lilawangsa pada saat Peristiwa Simpang KKA 1999.
b.      Dandim 0103/Aceh Utara pada Peristiwa Simpang KKA 1999.
c.       Komandan Batalyon Infantri 113/JS pada saat Peristiwa Simpang KKA 1999
d.      Komandan Detasemen Arhanud Rudal 001/Pulo Rungkom pada saat Peristiwa Simpang KKA 1999.
e.       Danramil Dewantara Kodim 0103/Aceh Utara
3.      Individu/Komandan/Anggota Kesatuan Yang Dapat Dimintai Pertanggungjawaban Sebagai Pelaku Lapangan
a.       Anggota Detasemen Arhanud Rudal 001/Pulo Rungkom
b.      Anggota Yonif 113/JS pada saat kejadian.




SEJARAH PEMBANTAIAN A
RAKUNDO, IDI CUT

Tragedi Idi Cut, dikenal luas dengan nama ‘Tragedi Arakundo’, adalah sebuah peristiwa pembantaian sipil yang terjadi tanggal 3 Februari 1999 di Idi Cut, Aceh Timur.
Menurut sejumlah saksi mata, peristiwa yang dilancarkan tentara ABRI ini menewaskan tujuh orang dan melukai ratusan orang lainnya. Para pelakunya sampai sekarang belum ditangkap dan diadili hingga saat ini.
Para korban pembantaian jasad mereka diceburkan ke Sungai Arakundo. Klaim ini diperkuat oleh kesaksian korban yang mendengar kata-kata para serdadu ABRI saat sedang membantai korban: "Kalian bunuh kawan kami. Kalian ceburkan mereka ke sungai. rasakan balasannya."
Beberapa korban lainnya menyebutkan para pelakunya adalah anggota Batalyon Linud 100. Sebanyak 58 korban yang tertembak dinaikkan ke dalam truk aparat, baik yang sudah tewas maupun yang terluka.
Tetapi ada juga beberapa korban terluka yang tidak terangkut karena bersembunyi di selokan samping jalan sehingga losos dari pembantaian.
Banyak saksi mata melihat tiga truk militer yang mengangkut korban penembakan bergerak menuju jembatan Sungai Arakundo.
Sebelum diangkut ke truk, para korban diikat terlebih dahulu dengan kawat di sekujur tubuhnya, kemudian dimasukkan ke karung goni milik masing-masing tentara yang masih bertuliskan nama pelaku beserta pangkatnya.
Batu besar diikatkan di setiap karung sebagai pemberat, lalu karung tersebut dilemparkan ke Sungai Arakundo. Seorang saksi mata lain mengatakan bahwa ceceran darah di sekitar jembatan Arakundo berusaha ditutup-tutupi dengan pasir oleh tentara pemerintah Indonesia.
Pasir tersebut adalah hasil penambangan penduduk sekitar sungai yang biasa ditumpuk di dekat jembatan. Tanggal 4 Februari pukul 08.00-12.00 WIB, tentara masih bertahan di sekitar lokasi pembantaian Idi Cut.
Penembakan acak secara membabi buta pun masih terjadi sesekali. Hari itu juga sampai keesokan harinya, penduduk desa melakukan pencarian di sungai dan berhasil mengangkat enam karung berisi jenazah korban. Jasad korban ketujuh yang ditembak mati ditemukan di dalam kendaraannya.
Puluhan warga sipil terluka akibat insiden ini. 58 orang ditangkap dan kabarnya disiksa saat ditahan di penjara. Pasca-insiden ini, 13 orang dilaporkan hilang dan tidak pernah ditemukan lagi.
Pencarian korban dilakukan dengan alat tradisional, karena tentara dan pihak lainnya tidak membantu melakukan pencarian. Sebagian besar korban tidak mengapung, karena di tubuh mereka diikat alat pemberat berupa batu.
Di pinggir jembatan juga ditemukan peluru dan proyektil bermerek Pindad, produsen senjata api asal Bandung yang memasok persenjataan ABRI.
Peristiwa Idi Cut adalah satu dari lima kasus yang disarankan Amnesty International untuk diproses secepatnya oleh Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KPTKA).
Meski Jaksa Agung sudah melaksanakan investigasi pada November 1999, sejauh ini belum ada anggota aparat keamanan yang diadili atas aksi kebiadaban alat negara ini.

***


SEJARAH TSUNAMI ACEH

Gempa dan gelombang tsunami pada 26 Desember 2004 lalu, diyakini bukanlah pertama kali terjadi di Aceh. Bencana lebih dahsyat berupa megatsunami diperkirakan pernah menerjang provinsi ujung Sumatra itu pada 1.400 tahun lalu. Hal inilah yang membuat bencana tersebut akrab dalam catatan sejarah negeri eks konflik ini.
Masyarakat di Provinsi Aceh mengenal bencana alam berupa gelombang besar yang menerjang pemukiman penduduk dalam berbagai sebutan, seperti Tsunami yang diperkenalkan oleh masyarakat Jepang, Smong oleh masyarakat Semeulue serta Ie Beuna oleh masyarakat pesisir Aceh lainnya.
”Di Aceh memang mengenal adanya istilah ie beuna dan smong di kalangan masyarakat Kabupaten Simeulue. Musibah itu diperkirakan jauh lebih dahsyat dibandingkan musibah 26 Desember 2004 lalu,” kata Saiful Mahdi, Direktur Pusat Kajian Internasional Tentang Aceh dan Lautan Indian (ICAIOS), Selasa (26/4).
Kata Saiful, tsunami juga pernah menerjang Simeulue pada 1907. Masyarakat di sana kemudian mengenang kejadian itu dengan sebutan smong dan cerita ini diwariskan secara turun temurun.
”Pada 26 Desember 2004, sangat sedikit warga Simeulue menjadi korban. Artinya, orang tua di sana sudah memperingatkan generasi muda Simeulue tentang tsunami dan cara mengantisipasinya,” ungkap dia lagi.
Selain itu, adanya megatsunami di Aceh dapat juga dibuktikan dengan temuan Tim Studi Bencana Katastropika Purba dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berupa bangunan kuno di dalam laut Aceh. Ini artinya, daratan yang ada di Aceh saat ini sebenarnya sangat luas, namun sedikit-demi sedikit di kikis oleh laut akibat bencana alam dalam berbagai bentuk.
Dahulu kala, sejumlah kondisi yang menjadi lautan saat ini sebenarnya adalah perkampungan penduduk. Namun karena bencana, daerah tersebut kemudian ditinggalkan. Salah satu kasus yang membuktikan teori ini benar, terdapat di Desa Lamnga, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar.
Menurut pengakuan orang tua dan para penduduk disana, sebesarnya lokasi Desa Lamnga, dulunya terletak disepanjang pinggiran laut dan tanah yang menjadi area tambak dan sungai saat ini. Namun karena adanya suatu bencana, masyarakat kemudian mengungsi ke lokasi yang lebih tinggi.
”Dulunya, lokasi desa saat ini adalah dataran tinggi yang sering dijadikan oleh mujahid Aceh untuk menyerang Belanda. Makanya, banyak kuburan kono di desa ini. Tetapi karena bencana, akhirnya masyarakat memilih menetap disini,”ungkap M. Ali Ibrahim, Sekdes Lamnga.
Sedangkan lokasi desa sebelumnya, lanjut dia, kini tergenang dengan air. Penduduk baru mengetahui hal ini setelah melakukan pengalian di sekitar daerah tersebut dengan tujuan pembangunan tambak. Di area tanah tersebut, ditemukan banyak peninggalan kuno, seperti piring, bangunan serta benda-benda yang memiliki muatan sejarah lainnya.
”Menurut orang tua, dulu terjadi perpindahan karena adanya ie beuna. Tapi, saya tidak ingat kenjadian tersebut,”ungkap dia.
Adanya sumber-sumber sejarah ini, membuktikan bahwa bencana alam memang akrab dengan penduduk di Seramoe Mekkah. Namun bencana ini sering lupa dalam cacatan sejarah sehingga harus menelan korban jiwa dalam jumlah yang banyak setiap kali bencana tersebut kembali menyapa daerah ini.
Padahal, jika bencana tersebut dijadikan sebagai pelajaran yang berharga dan informasi turun temurun kepada setiap generasi. Daerah ini akan lebih siap untuk menghadapi bencana.
Untuk tingkat nasional, Penelitian Tim Studi Bencana Katastropika Purba LIPI dan sejumlah lembaga penelitian lainnya, baik lembaga asing dan nasional juga menemukan fakta-fakta terbaru mengenai megatsunami yang pernah menerjang Indonesia.
Cacatan sejarah dan referensi nasional, tsunami di Indonesia mulai terkenal sejak tahun 1833. dimana, saat itu gelombang laut yang besar menerjang sumatera, Indonesia. Gempa berkekuatan 8,8-9,2 SR mengakibatkan tsunami besar yang menyapu pesisir barat Sumatera.
Kemudian, pada tahun 1883, gelombang tsunami juga menghntam krakatau, di Selat Sunda, Indonesia. Muntahan magma Krakatau menyebabkan dasar laut runtuh dan menimbulkan tsunami hingga 40 meter di atas permukaan laut. Tsunami menerjang Samudra Hindia dan Pasifik hingga ke pantai barat Amerika dan Amerika Selatan.
Serangan tsunami setinggi 10 sampai 15 meter, yang dipicu akibat gempa di dasar laut, juga diperkirakan terjadi pada tahun 1994 di Jawa Timur, dengan korban tewas 238 orang, tsunami di Irian Jaya tahun 1996 yang menyebabkan 161 orang tewas, atau yang terhebat tsunami di negara tetangga Papua Nugini, pada tahun 1998 yang menewaskan 2.200 orang.
Selanjutnya, Pada 26 Desember 2044, giliran daerah ini diterjang gempa 9,1 SR yang menimbulkan tsunami besar yang menewaskan 166 ribu di Aceh dan 320 ribu orang dari delapan negara yang dilewati gelombang itu hingga ke Thailand, pantai timur India, Sri Lanka, bahkan pantai timur Afrika di Somalia, Kenya, dan Tanzania.
Tahun 2005 lalu, gempa berkekuatan 8,7 SR juga terjadi di lepas pantai Nias menewaskan 1.300 orang. Sedangkan pada tahun 2006, giliran gempa berkekuatan 7,7 SR mengguncang dasar Samudra Hindia, tepatnya 200 KM selatan Pangandaran. Gempa ini telah memicu gelombang tinggi hingga 6 meter di Pantai Cimerak serta sekitar 800 orang dilaporkan hilang.
Sejak dahulu kala, Indonesia, khususnya Aceh memang termasuk kawasan potensial gempa bumi hebat. Penyebabnya, Indonesia berada di beberapa jalur patahan atau tumbukan antara landas kontinen. Antara lain lempeng benua Asia dengan Indo-Australia, yang bergerak dan memicu gempa Aceh.
Zona patahan ini memanjang di Samudra Hindia, yaitu mulai dari Aceh di barat hingga sekitar Laut Timor di timur. Pergerakan tektonik lempeng di kawasan ini, seringkali memicu gempa hebat. Jika kekuatan gempa di dasar laut mencapai tujuh pada skala Richter atau lebih, dapat dipastikan akan terjadi gelombang pasang tsunami.
Pengukuran dinas geologi di berbagai penjuru dunia, memperkirakan energi gempa yang dilepaskan setara dengan energi letusan 10.000 bom atom. Akibatnya jutaan meter kubik air laut tiba tiba tersedot ke bawah, kemudian seolah dimuntahkan kembali membentuk gelombang berbentuk lingkaran, dengan kecepatan amat tinggi.
SEJARAH TRAGEDI BEUTONG ATEUH

Selain menguras habis kekayaan alam Aceh, rezim Suharto juga melancarkan genosida atas Muslim Aceh. Yang terkenal adalah masa DOM atau Operasi Jaring Merah (1989-1998). Banyak peneliti DOM sepakat jika kekejaman rezim ini terhadap Muslim Aceh bisa disetarakan dengan kekejaman yang dilakukan Milisi Serbia terhadap Muslim Bosnia di era 1990-an. Wilayah NAD yang sangat luas, sekujur tanahnya dijadikan kuburan massal di sana-sini. Muslim Aceh yang berabad-abad hidup dalam izzah Islam, dihinakan oleh rezim fasis Suharto serendah-rendahnya.
Jika Kamboja di bawah rezim Pol Pot dikenal memiliki The Killing Fields atau Ladang pembantaian, maka di Aceh dikenal pula Bukit Tengkorak. Di Aceh, jumlah ladang pembantaian yang besar ada 35 titik, ini jauh lebih banyak ketimbang ladang pembantaian yang ada di Kamboja. Begitu banyak pameran kekejaman dan kebiadaban yang ditimpakan terhadap Muslim Aceh oleh rezim Suharto, sehingga jika dijadikan buku maka bukan mustahil, riwayat Tragedi Aceh akan menyamai tebalnya jumlah halaman koleksi perpustakaan Iskandariyah sebelum dibakar habis pasukan Mongol.
Dari jutaan kasus kejahatan HAM di Aceh, salah satunya adalah tragedi yang menimpa Tengku Bantaqiah, pemimpin Dayah (Pondok Pesantren) Babul Nurillah di Beutong Ateuh pada 23 Juli 1999. Ironisnya, walau secara resmi DOM sudah dicabut, namun kekejaman dan kebiadaban yang menimpa Muslim Aceh tidaklah surut. Tragedi yang menimpa Tengku Bantaqiah dan santrinya merupakan bukti.
Lengsernya Suharto pada Mei 1998 tidak berarti lengsernya sistem dan tabiat kekuasaan represif ala Orde Baru. Para presiden setelah Suharto seperti Habbie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono, semuanya pada kenyataannya malah melestarikan sistem Orde Baru ini. Salah satu buktinya adalah KKN yang di era reformasi ini bukannya hilang namun malah tetap abadi dan berkembang penuh inovasi.
Sebab itulah, dicabutnya status DOM di Aceh pada 1998 tidak serta-merta tercerabutnya teror dan kebiadaban yang selama ini bergentayangan di Aceh. Feri Kusuma, salah seorang aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh menulis secara khusus tentang Tragedi Tengku Bantaqiah ini. Dalam artikel berjudul ‘Jubah Putih di Beutong Ateuh’, Feri mengawali dengan kalimat, “Beutong Ateuh memiliki sejarah yang cukup panjang. Daerah ini dibangun sejak masa kolonial Belanda, begitu orang Beutong bersaksi. Kecamatan Beutong Ateuh terdiri dari empat desa yaitu Blang Meurandeh, Blang Pu’uk, Kuta Teungoh dan Babak Suak. Kondisi geografisnya cocok untuk bersantai sambil menikmati panorama alam yang indah. Di daerah yang terletak di antara dua gunung ini mengalir sungai Beutong yang sejuk dan jernih. Pegunungannya yang mengelilingi Beutong Ateuh termasuk gugusan Bukit Barisan…”
Eramuslim yang pernah mengunjungi hutan belantara ini di tahun 2001, dua tahun setelah tragedi, menjumpai kondisi yang sangat mengenaskan. Bukan saja di Beutong Ateuh, namun juga nyaris di seluruh wilayah Aceh. Kemiskinan ada di mana-mana, padahal tanah Aceh adalah tanah yang sangat kaya raya dengan sumber daya alamnya. Jakarta telah menghisap habis kekayaan Aceh!
Beutong Ateuh terletak di perbatasan Aceh Tengah dan Aceh Barat. Dari Ule Jalan ke Beutong Ateuh, kita akan melewati pos kompi Batalyon 113/Jaya Sakti yang terletak di areal kebun kelapa sawit. Di areal kompi ini, tepatnya di gapura, terpasang papan pengumuman berisi tulisan “TEMPAT LATIHAN PERANG TNI”. Sekitar 10 kilometer dari kompi itu terpancang sebuah petunjuk jalan yang bertuliskan “SIMPANG CAMAT”; tanda menuju ke sebuah pemukiman. Namun tidak ada sebuah rumah pun di daerah ini. Sejauh mata memandang hanya tampak rerimbunan pohon besar di atas bukit dan jurang yang menganga. Tak heran jika hutan Cut Nyak Dien dan pasukannya memilih hutan ini sebagai pertahanan terakhir.
Walau berjarak lebih kurang 15 kilometer dari hutan ini, namun Kecamatan Beutong Ateuh tidak berbeda dengan hutan Simpang Camat. Di tengah-tengah hutan, kain putih usang terlihat berkibaran di areal Dayah. Kubah mushola, atap beberapa rumah, dan bilik pengajian yang berhadapan langsung dengan sungai Beutong terlihat jelas.
Tengku Bantaqiah mendirikan pesantren di desa Blang Meurandeh pada 1982 dan memberinya nama Babul Al Nurillah. Abu Bantaqiah, begitu para murid memanggilnya, adalah alim ulama yang disegani dan dihormati. Disini, Dayah Babul Al Nurillah mengajarkan ilmu agama, seni bela diri, dan juga berkebun dengan menanam berbagai macam sayuran untuk digunakan sendiri.
Kegiatan di Dayah ini tidak berbeda dengan pesantren lainnya di berbagai daerah di Indonesia. Selain mereka yang menetap di Dayah, ada pula orang-orang yang sengaja datang dan belajar agama untuk mengisi libur kerja atau sekolah. Jumlahnya lebih banyak daripada santri yang tinggal di pesantren.
Di Dayah ini, para santrinya kebanyakan adalah mereka yang pernah melakukan tindakan-tindakan tak terpuji di masyarakat seperti mabuk-mabukan, mencuri atau kejahatan lain yang merugikan dirinya sendiri maupun orang banyak. “Menurut Tengku Bantaqiah, untuk apa mengajak orang yang sudah ada di dalam masjid, justru mereka yang masih di luar masjidlah yang harus kita ajak. Itulah dasar dari penerimaan orang-orang seperti mereka tadi menjadi murid di sini,” tulis Feri Kusuma.
Bantaqiah adalah ulama yang teguh pendirian, sederhana, dan tidak goyah dengan godaan dunia. Baginya, dunia ada di dalam genggamannya, bukan di hatinya. Mungkin sebab itu dia pernah menolak bergabung sebagai anggota MUI cabang Aceh. Bantaqiah juga tidak bersedia masuk ke dalam partai politik mana pun. Baginya, Partai Allah sudah lebih dari cukup, tidak untuk yang lain. Sebab itu, Bantaqiah sering difitnah oleh orang yang berseberangan dengan dirinya. Ia dituduh mengajarkan kesesatan dan pada 1985 dicap dengan sebutan Gerombolan Jubah Putih. Pemerintah Aceh berusaha melunakkan sikap Bantaqiah dengan membangunkan sebuah pesantren untuknya, namun lokasinya di kecamatan Beutong Bawah, jauh dari Babul Al Nurillah. Ini membuatnya menolak “pesantren sogokan” tersebut. Hal ini membuat hubungan Bantaqiah dengan Pemerintah setempat kurang harmonis. Dia dituduh sebagai salah satu petinggi GAM pada 192 dan dijebloskan ke penjara dengan hukuman 20 tahun.
Ketika Habibie menggantikan Suharto dan menyempatkan diri ke Aceh, Bantaqiah dibebaskan. Namun hal ini rupanya tidak berkenan di hati tentara hasil didikan rezim Suharto. Di mata tentara, Bantaqiah adalah sama saja dengan kelompok-kelompok bersenjata Aceh yang tidak mau menerima Pancasila. Sebab itu keberadaannya harus dienyahkan dari negeri Pancasila ini. 

0 komentar:

Posting Komentar