SEJARAH TEUNGKU CHIK DI AWE GEUTAH
Dikisahkan
Cut Teumeuruhom, Teungku Chik Awe Geutah bernama asli Abdul Rahim bin Muhammad
Saleh. Dia seorang ulama Sufi, yang berasal dari Kan’an, Iraq. Kemudian
merantau dan menetap di Desa Awe Geutah, sampai dia meninggal di sana. Namun
tidak diketahui persisnya tahun berapa dia pertama kali menginjakkan kaki di
desa pedalaman Kecamatan Peusangan Siblah Krueng itu. Di batu nisannya pun
tidak tertera tahun meninggal ulama besar tersebut.
Perjalanannya
mencari Awe Geutah sebagai tempat menetap, sekaligus mengembangkan agama Islam
yang aman dan damai, punya kisah tersendiri. Syahdan sekitar abad ke 13 yang
lampau, Abdul Rahim bin Muhammad Saleh sekeluarga, serta tiga pria saudara
kandungnya, dan sejumlah pengikutnya melakukan hijrah.
Mereka
meninggalkan tanah kelahirannya.Sebab, waktu itu ada pertentangan antar pemeluk
agama Islam di sana, meyangkut perbedaan khilafiyah. Untuk menghindari
perselisihan yang bisa berakibat perpecahan antar pemeluk agama Islam itulah
Abdul Rahim bersama keluarga dan para pengikutnya berinisiatif melakukan hijrah
ke tempat lain.
Pencarian
untuk mendapatkan negeri yang aman dan tenteram itu, membuat mereka harus
menyingggahi beberapa tempat. Pertama Abdul Rahim beserta rombongan mendarat di
kepulauan Nicobar dan Andaman di Samudera Hindia. Kemudian singgah di pulau
Weh. Lalu ke pulau Sumatera, yang waktu itu mereka menyebutnya pulau Ruja. Di
pulau tersebut mereka menetap beberapa saat di Gampong Lamkabeu, Aceh Besar.
Merasa
belum menemukan tempat yang cocok sebagai tempat menetap, lalu mereka
melanjutkan lagi pelayaran. Namun seorang saudara kandung Abdul Rahim tidak mau
lagi melanjutkan perjalanan. Namanya tidak diketahui persis. Dia saat itu sudah
memantapkan pilihan hatinya untuk bertahan di sana. Konon kabarnya dia kemudian
menetap di Tanoh Abee. Di sana dia membangun tempat pengajian. Kelak dia lebih
dikenal dengan nama Teungku Chik Tanoh Abee.
Sedangkan
pengikut rombongan Abdul Rahim kemudian melanjutkan pengembaraannya. Rombongan
tersebut akhirnya mendarat di Kuala Jangka (Kecamatan Jangka, Kabupaten
Bireuen-red). Sebab, mereka melihatdi situ banyak pelayar yang singgah. Di sana
mereka mendapati beberapa toke dari India yang melakukan transaksi penjualan
pinang di Kuala Jangka. Salah satunya bernama Cende. Dia mengaku kepada Abdul
Rahim, sudah sering pulang-pergi ke Kuala Jangka. Waktu itu Kuala Jangka sudah
menjadi pelabuhan yang maju, dan disinggahi para pedagang dari berbagai negara.
Rombongan
Abdul Rahim kemudian menetap di Asan Bideun (Sekarang Desa Asan Bideun,
Kecamatan Jangka-red). Mereka tinggal beberapa waktu dan mendirikan balai
pengajian untuk mengembangkan dan mengajarkan ilmu agama Islam kepada penduduk
di sana. Suatu hari Abdul Rahim melihat beberapa perempuan setempat, termasuk
istrinya, yang kemudian dikenal dengan nama Teungku Itam, pulang mencuci di
sungai dengan berkemben (memakai kain yang menampakkan bagian dada atas).
Melihat pemandangan yang tidak biasanya itu, Abdul Rahim punya firasat lain.
Dia berkesimpulan, Asan Bideun bukanlah tempat yang cocok sebagai tempat mereka
menetap. Negeri itu sudah laklim.
Lalu
mereka sepakat pindah ke tempat lain. Kali ini rombongan terpecahb lagi, mereka
terbagi tiga kelompok. Satu kelompok yang dipimpin adiknya Abdul Rahim menuju
Paya Rabo dan menetap di sana (Sekarang Desa Paya rabo masuk wilayah Kecamatan
Sawang, Kabupaten Aceh Utara). Kelompok yang dipimpin adiknya yang lain pergi
dan menetap di Pulo Iboh (Sekarang masuk wilayah Kecamatan Jangka).
Sedangkan
satu kelompok lagi yang dipimpin Abdul Rahim sendiri hijrah ke Keudee Asan
(Sekarang masuk wilayah Kecamatan Peusangan Selatan). Di sana rombongan
tersebut sempat menetap beberapa waktu, dan mengadakan pengajian bagi penduduk
setempat.
Namun
setelah sekian lama menetap di Keudee Asan, dia merasa tempat itu belum cocok
untuk dijadikan tempat menetap yang benar-benar sesuai keinginannya. Untuk
itulah Abdul Rahim melaksanakan shalat istikharah empat malam berturut-turut,
untuk memohon petunjuk dari Allah, dan harus naik ke atas bukit menghadap empat
arah penjuru mata angin.
Malam
pertama setelah Abdul Rahim melaksanakan shalat istikharah tengah malam, dia
naik ke sebuah bukit yang cukup tinggi, namanya Gle Sibru (Sekarang masuk
wilayah Desa Cibrek, Kecamatan Peusangan Selatan). Di atas bukit itu Abdul
Rahim berdiri menghadap ke arah selatan. Agak lama juga dia menatap ke sana,
namun tidak tampak apa-apa. Yang terlihat hanya pucuk labu. Konon kabarnya,
pucuk labu yang dilihat Abdul Rahim itu adalah Desa Geulanggang Labu, Kecamatan
Peusangan Selatan sekarang.
Malam
kedua, setelah shalat istikharah, Abdul Rahim naik lagi ke atas bukit tersebut.
Kali ini dia menghadap ke arah barat, tapi dia tidak melihat apapun. Malam
berikutnya dia juga melakukan hal yang sama, dengan menghadap ke arah utara.
Hasilnya tetap nihil, tidak mendapatkan petunjuk apa-apa.
Baru
pada malam keempat Abdul Rahim mendapatkan hasilnya. Ketika dia menghadap ke
arah timur, pandangan matanya terlihat sesuatu. Seberkas cahaya putih bersih
dia lihat menyembul di sana. Abdul Rahim berkeyakinan, di daerah sembulan
kilauan cahaya itulah tempat yang aman dan damai sebagai tempat tinggal yang
permanen.
Maka
keesokan harinya mereka langsung berangkat menuju ke daerah asal cahaya tadi.
Singkat cerita, sesuai petunjuk Abdul Rahim yang memimpin perjalanan, tibalah
mereka di sebuah tempat yang diyakininya sebagai daerah asal cahaya itu.
Saat
itu, di sana masih berhutan belantara. Kemudian hutan-hutan itu mereka tebang
dan bersihkan untuk dijadikan perkampungan. Suatu hari sambil melepas lelah,
setelah capek bergotong-royong, Abdul Rahim menanyakan pada rekan-rekannya, apa
nama yang cocok ditabalkan untuk tempat pemukiman baru itu. Ada beberapa nama
yang diusulkan mereka, tapi dirasakan tidak ada yang cocok.
Seorang
di antara mereka, sambil duduk-duduk membersihkan getah rotan yang lengket di
tangannya, mengusulkan sebuah nama. “Untuk apa capek-capek memikirkan nama.
Bagaimana kalau kita namai saja Awe Geutah?” tanya orang itu. Usulan itu pun
diterima Abdul Rahim dan rekan-rekan mereka yang lain. Nah, sejak saat itulah
tempat pemukiman baru mereka itu dinamakan Awe Geutah
***
KISAH
PUTRO NENG
Suatu
hari dalam sejarah, tersebutlah sebuah kisah perjuangan seorang laksamana yang
menuai cerita fakta dan mitos, jauh sebelum kita mengenal Cut Nyak Dhien,
Malahayati bahkan Ratu Safiatuddin sekalipun. Kisahnya lebih terdengar lama
saat Islam belum memasuki nanggroe (red: negeri) yang saat ini lebih terkenal
dengan syariat islamnya. Bermulalah di sana cerita, ketika Hindu dan Buddha
masih menguasai Aceh dan cikal bakal masuknya Islam sehingga berganti nama
menjadi Aceh Darussalam.
Bernama
asli Nian Nio Liang Khie, dia adalah putri dari Liang Khie yang merupakan
laksamana perang wanita dari Tiongkok, membawa dua ribu pasukan perempuan
berpakaian serba merah, berhasil menaklukkan Kerajaan Indra Jaya, Indra Patra
dan Indra Puri. Sebuah sejarah lama yang berhasil membuktikan, bahwa di tangan
seorang wanita, kerajaan manapun dapat tegak berdiri. Bernama Kerajaan Seudu,
sebuah kerajaan pengganti kerajaan Hindu Indra Jaya yang terletak di Panton Bie
(saat ini berlokasi di sekitaran Sibreh, Aceh Besar).
Nasib
Indra Jaya saat itu tidak seindah nasib kerajaan tetangganya yang berkawasan di
Lamuri, bernama Kerajaan Indra Purba. Di bawah kekuasaan Raja Indra Sakti,
Kerajaan Indra Purba berhasil menaklukkan serangan dari prajurit bercambang
Cola Mandala yang ingin merebut wilayah kerajaan tersebut. Namun saat itu,
Maharani Liang Khie memang telah berniat akan memperluas wilayah kekuasaannya
hingga ke Kerajaan Indra Purba. Ketika itu semua menakuti Liang Khie dan
anaknya, mereka tidak hanya dianggap sebagai wanita biasa, namun sebagai wanita
perenggut nyawa ribuan prajurit di ujung pedang.
Kabar
mengenai kekuatan Nian Nio Liang Khie dan ibunya serta keinginan mereka untuk
merebut Indra Purba akhirnya diketahui oleh Indra Sakti. Ia pun akhirnya
meminta bantuan dari laskar perang milik Kerajaan Islam di Peureulak untuk
membantu melawan Kerajaan Seudu pada tahun 1180 M. Bukan tanpa balasan mengapa
pada akhirnya Kerajaan Peureulak ingin membantu Indra Purba, tentunya setelah
berkoalisi dan Raja Indra Sakti menerima Islam disebarluaskan di daerah Lamuri.
Di
bawah pimpinan Syeikh Hudam dan Meurah Johan (putra bungsu Adi Geunali dari
Kerajaan Lingga- yang saat ini berlokasi di daerah Takengon) dan para tentara
Kerajaan Peureulak yang sebagian besar adalah murid Zawiyah Cot Kala, akhirnya
Kerajaan Indra Jaya terselamatkan. Liang Khie tewas dalam peperangan dan saat
itu Nian Nio Liang Khie menjadi tawanan perang. Sedangkan Meurah Johan akhirnya
membentuk Kerajaan Darud Donya Aceh Darussalam bersama Syeikh Hudam, dan
menikah dengan Putri Indra Kusuma, putri bungsu dari Indra Sakti (raja kerajaan
Indra Purba sebelumnya).
Walaupun
menjadi tawanan perang, kecantikan Nian Nio Liang Khie tidak pernah pudar.
Bahkan beberapa cerita mengatakan, Meurah Johan telah menyukainya sejak dari
awal pertemuan mereka di dalam perang, jauh sebelum dia menikahi Putri Indra
Kusuma. Ketenaran kecantikan Nian Nio ini sudah terlebih dahulu menggema saat
dia menjadi laksamana perang, namun saat itu tidak ada yang berani mendekat
sebelum nyawa berada di ujung pedang miliknya. Sampai akhirnya Nian Nio Liang
Khie menyerah, dan memilih bergabung dengan Kerajaan Darud Donya Aceh
Darussalam. Layaknya pungguk yang sudah sangat lama merindukan bulan, cinta
Meurah Johan pun akhirnya bisa terlabuhkan. Ia akhirnya menikahi Nian Nio Liang
Khie, dan perempuan ini memilih masuk Islam. Sejak saat itulah namanya berubah
menjadi Putroe Neng.
Namun
tak disangka, nasib Meurah Johan pun berakhir di ujung ranjang. Ia tidak pernah
menyadari bahwa menaklukkan Putroe Neng tidak semudah menaklukkannya di laga
perang. Pagi setelah malam yang seharusnya menjadi malam pertamanya, Meurah
Johan didapatkan terbujur kaku dengan kulit tubuh membiru. Walaupun sebab
kematian Meurah Johan menjadi misteri, namun sepertinya misteri tersebut
menjadi sebuah laga penasaran yang membuat para saudagar kaya berani mencoba
untuk melamar Putroe Neng menjadi istri dan mencoba peruntungan diri apakah
akan berlawanan nasib dengan apa yang terjadi pada Meurah Johan.
Kalau
bukan cerita kecantikan Putroe Neng yang sudah terlanjur terkenal, manalah
mungkin mereka rela untuk menghabiskan banyak harta dan rela untuk berbagi
wilayah kekuasaan, demi Putroe Neng seorang. Begitulah Putroe Neng, ia hanya
akan benar-benar mau untuk menerima siapapun yang bersedia menikahinya dengan
mahar yang tinggi. Jika tidak, apalagi dengan tidak adanya hubungan halal, Putroe
Neng tidak akan mau untuk disentuh dengan ketentuan apapun. Namun nyatanya,
sampai 99 lelaki yang pernah menjadi suaminya hanya akan mengatakan “nanti
malam saya akan tidur dengan Putroe Neng“, tentunya dengan penuh kebanggaan,
tanpa ada yang berhasil mengatakan “semalam saya telah tidur dengan Putroe
Neng“, sebab ke 99 lelaki itu akhirnya tewas tepat di malam pertama.
Apakah
ke 99 suami Putroe Neng ini dibunuh oleh Putroe Neng? Jawabannya tidak, Putroe
Neng tidak melakukan apapun. Semua kejadian tersebut dikarenakan racun yang
telah ditanamkan di kemaluannya oleh nenek Putroe Neng yang bernama Khie
Nai-Nai saat ia masih remaja. Racun ini merupakan kumpulan bisa beberapa
binatang yang diramu oleh neneknya dan bertujuan untuk melindungi Putroe Neng
dalam masa-masa perang yang sulit diperkirakan. Ia berpesan:
Banyak
laki-laki mati dalam peperangan, tapi biasanya perempuanlah yang paling
menderita. Terlebih perempuan yang cantik. Kecantikan kadang menjadi berkah,
tapi dalam perang seringkali menjadi kutukan. Perempuan cantik kadang tidak
mati, tetapi tidak juga hidup sehingga akan lebih menderita.
Satu-satunya
orang yang berhasil mengeluarkan racun tersebut yaitu Syeikh Syiah Hudam yang
tidak lain adalah penasehat dari Meurah Johan. Ia menjadi suami ke 100 dari
Putroe Neng dan menjadi suami terakhir yang menemani Putroe Neng hingga akhir
hayat. Syeikh Syiah Hudam membawa Putroe Neng pulang ke Peureulak dan
bersama-sama mendakwahkan Islam di sana. Setelah racun dicabut, kecantikan
Putroe Neng yang selalu terlihat awet muda luruh menjadi terbalik, ia bahkan
lebih terlihat tua dari umurnya dan bahkan lebih tua dari pelayan setianya,
Yupie Tan. Ia pun sering sakit-sakitan dan juga tidak memiliki anak. Namun,
Syeikh Syiah Hudam selalu menyayangi Putroe Neng dengan apa adanya. Sampai pada
akhirnya Putroe Neng meninggal dan dimakamkan di Desa Blang Pulo (saat ini
Lhokseumawe) berdekatan dengan makam Syeikh Syiah Hudam.
***
Sejarah Lahirnya GAM (Gerakan Aceh Merdeka)
Bicara
GAM (Gerakan Aceh Merdeka), mau tak mau, harus bicara kelahiran negara Republik
Indonesia. Sebab, dari situlah kisah gerakan menuntut kemerdekaan dimulai. Lima
hari setelah RI diproklamasikan, Aceh menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap
kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Jakarta. Dibawah Residen Aceh, yang
juga tokoh terkemuka, Tengku Nyak Arief, Aceh menyatakan janji kesetiaan,
mendukung kemerdekaan RI dan Aceh sebagai bagian tak terpisahkan. Pada 23
Agustus 1945, sedikitnya 56 tokoh Aceh berkumpul dan mengucapkan sumpah. ”Demi
Allah, saya akan setia untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia sampai
titik darah saya yang terakhir.”
Kecuali
Mohammad Daud Beureueh, seluruh tokoh dan ulama Aceh mengucapkan janji itu.
Pukul 10.00, Husein Naim dan M Amin Bugeh mengibarkan bendera di gedung Shu Chokan
(kini, kantor gubernur). Teuku Nyak Arief Gubernur di bumi Serambi Mekkah.
Tetapi,
ternyata tak semua tokoh Aceh mengucapkan janji setia. Mereka para hulubalang,
prajurit di medan laga. Prajurit yang berjuang melawan Belanda dan Jepang.
Mereka yakin, tanpa RI, mereka bisa mengelola sendiri negara Aceh. Inilah kisah
awal sebuah gerakan kemerdekaan. Motornya adalah Daud Cumbok. Markasnya di
daerah Bireuen. Tokoh-tokoh ulama menentang Daud Cumbok. Melalui tokoh dan
pejuang Aceh, M. Nur El Ibrahimy, Daud Cumbok digempur dan kalah. Dalam
sejarah, perang ini dinamakan perang saudara atau Perang Cumbok yang menewaskan
tak kurang 1.500 orang selama setahun hingga 1946. Tahun 1948, ketika
pemerintahan RI berpindah ke Yogyakarta dan Syafrudin Prawiranegara ditunjuk
sebagai Presiden Pemerintahan Darurat RI (PDRI), Aceh minta menjadi propinsi
sendiri. Saat itulah, M. Daud Beureueh ditunjuk sebagai Gubernur Militer Aceh.
Oleh
karena kondisi negara terus labil dan Belanda merajalela kembali, muncul
gagasan melepaskan diri dari RI. Ide datang dari dr. Mansur. Wilayahnya tak
cuma Aceh. Tetapi, meliputi Aceh, Nias, Tapanuli, Sumatera Selatan, Lampung,
Bengkalis, Indragiri, Riau, Bengkulu, Jambi, dan Minangkabau. Daud Beureueh
menentang ide ini. Dia pun berkampanye kepada seluruh rakyat, bahwa Aceh adalah
bagian RI. Sebagai tanda bukti, Beureueh memobilisasi dana rakyat. Setahun
kemudian, 1949, Beureueh berhasil mengumpulkan dana rakyat 500.000 dolar AS.
Uang itu disumbangkan utuh buat bangsa Indonesia. Uang itu diberikan ABRI 250
ribu dolar, 50 ribu dolar untuk perkantoran pemerintahan negara RI, 100 ribu
dolar untuk pengembalian pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100
ribu dolar diberikan kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis. Aceh juga
menyumbang emas lantakan untuk membeli obligasi pemerintah, membiayai
berdirinya perwakilan RI di India, Singapura dan pembelian dua pesawat terbang
untuk keperluan para pemimpin RI. Saat itu Soekarno menyebut Aceh adalah modal
utama kemerdekaan RI.
Setahun
berlangsung, kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke Propinsi Sumatera
Utara. Rakyat Aceh marah. Apalagi, janji Soekarno pada 16 Juni 1948 bahwa Aceh
akan diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak juga
dipenuhi. Intinya, Daud Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh.
Bukan dilarang. Beureueh tak minta merdeka, cuma minta kebebasan menjalankan
agamanya sesuai syariat Islam. Daud Beureueh pun menggulirkan ide pembentukan
Negara Islam Indonesia pada April 1953. Ide ini di Jawa Barat telah diusung
Kartosuwiryo pada 1949 melalui Darul Islam. Lima bulan kemudian, Beureueh
menyatakan bergabung dan mengakui NII Kartosuwiryo. Dari sinilah lantas
Beureueh melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang notabene Islam, mendukung
sepenuhnya ide NII itu. Tentara NII pun dibentuk, bernama Tentara Islam
Indonesia (TII). Lantas, terkenallah pemberontakan DI/TII di sejumlah daerah.
Beureueh lari ke hutan. Cuma, ada tragedi di sini. Pada 1955 telah terjadi
pembunuhan masal oleh TNI. Sekitar 64 warga Aceh tak berdosa dibariskan di
lapangan lalu ditembaki. Aksi ini mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno.
Melalui berbagai gejolak dan perundingan, pada 1959, Aceh memperoleh status
propinsi daerah istimewa.
Beureueh
merasa dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan struktur kepemimpinan
adat dan tak menghargai peranan ulama dalam kehidupan bernegara. Padahal,
rakyat Aceh itu sangat besar kepercayaannya kepada ulama. Gerilya dilakukan.
Tetapi, Bung Karno mengerahkan tentaranya ke Aceh. Tahun 1962, Beureueh dibujuk
menantunya El Ibrahimy agar menuruti Menhankam AH Nasution untuk menyerah.
Beureueh menurut karena ada janji akan dibuatkan UU Syariat Islam bagi rakyat
Aceh (baru terwujud tahun 2001).
GAM
lahir di era Soeharto. Saat itu, sedang terjadi industrialisasi di Aceh.
Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan segala penghormatan rakyat Aceh.
Efek judi melahirkan prostitusi, mabuk-mabukan, bar, dan segala macam yang
bertentangan dengan Islam dan adat rakyat Aceh. Kekayaan alam Aceh dikuras
melalui pembangunan industri yang dikuasai orang asing melalui restu pusat.
Sementara rakyat Aceh tetap miskin. Pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat
memprihatinkan. Melihat hal ini, Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang sudah
tenang kemudian bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan rakyat, adat
Aceh dan agama Islam. Pertemuan digagas tahun 1970-an. Mereka sepakat
meneruskan pembentukan Republik Islam Aceh, yakni sebuah negeri yang mulia dan
penuh ampunan Tuhan. Kini mereka sadar, tujuan itu tak bisa tercapai tanpa
senjata. Lalu diutuslah Zainal Abidin menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di
Amerika. Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Tiro akan mengirim senjata
ke Aceh. Zainal tak lain adalah kakak Tiro. Sayang, senjata tak juga dikirim
hingga Beureueh meninggal. Hasan Asleh, Jamil Amin, Zainal Abidin, Hasan Tiro,
Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi berkumpul di kaki Gunung Halimun, Pidie. Di
sana, pada 24 Mei 1977, para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh mendirikan
GAM. Selama empat hari bersidang, Daud Beureueh ditunjuk sebagai pemimpin
tertinggi. Sementara Hasan Tiro yang tak hadir dalam pendirian GAM itu ditunjuk
sebagai wali negara. GAM terdiri atas 15 menteri, empat pejabat setingkat
menteri dan enam gubernur. Mereka pun bergerilya memuliakan rakyat Aceh, adat,
dan agamanya yang diinjak-injak Soeharto.
***
MENGENANG
TRAGEDI BERDARAH
SIMPANG
KRAFT ACEH 17 TAHUN LALU
Jakarta
- Komnas HAM hari ini memutuskan peristiwa Simpang Kertas Kraft Aceh (KAA) yang
terjadi 3 Mei 1999 sebagai pelanggaran HAM. Komnas HAM meminta Kejagung untuk
mengusut kasus ini. Tragedi Simpang KKA adalah sebuah peristiwa penembakan yang
dilakukan pasukan militer saat warga Aceh tengah berdemo. Peristiwa ini terjadi
di sebuah persimpangan jalan dekat pabrik PT Kertas Kraft Aceh di Kecamatan
Dewantara, Aceh Utara.
17
Tahun berlalu, namun peristiwa Simpang KAA masih meninggalkan duka yang
mendalam bagi warga Aceh Utara. Hampir setiap tahunnya warga Aceh Utara
memperingati insiden itu dengan kenduri dan doa bersama. Mereka berharap ada
keadilan dalam peristiwa berdarah itu.
Melihat
sejarahnya diambil dari berbagai sumber, tragedi simpang KAA terjadi saat warga
berdemo memprotes penganiayaan warga yang terjadi pada tanggal 30 April di Cot
Murong, Lhokseumawe. Kala itu, Jumat 30 April 1999 malam hari, warga Desa Cot
Murong mengadakan rapat besar untuk memperingati tahun baru Islam 1 Muharam.
Rapat ini dianggap ceramah Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Bersamaan
dengan rapat tersebut, muncul kabar seorang anggota TNI dari kesatuan Den Rudal
001/Pulo Rungkom yang berpangkat sersan hilang saat melakukan penyusupan di
tengah kegiatan ceramah. Namun informasi itu belum jelas kebenarannya, dan
malam itu tidak terjadi apa-apa di Desa Cot Murong.
Besoknya
sebuah truk militer berputar-puter di sekitar Desa Cot Murong, kemudian mereka
kembali ke markas. Minggu pagi pasukan Den Rudal 001/Pulo Rungkom datang ke
Desa untuk mencari anggotanya yang hilang. Saat itu warga tengah melakukan
persiapan kenduri untuk memperingati 1 Muharam.
Saat
melakukan penyisiran ke rumah-rumah, sebanyak 20 warga dianiaya anggota TNI.
Disebutkan juga pasukan militer itu mengancam akan menembak warga bila
anggotanya tak ditemukan. Namun mereka tak berhasil menemukan anggotanya yang
hilang. Kondisi semakin mencemaskan itu mendorong warga Desa Cot Murong
berkumpul untuk membahas masalah ini. Warga desa kemudian mengirim utusan ke
komandan TNI setempat untuk bernegosiasi. Komandan TNI berjanji aksi ini tidak
akan terulang lagi dan TNI tidak akan datang lagi ke desa.
Tanggal
3 Mei 1999 pagi hari 4 truk pasukan TNI datang ke Desa Lancang Barat yang
bersebelahan dengan Desa Cot Murong. TNI melanggar kesepakatan untuk tidak
kembali datang ke desa. Warga berunjuk rasa di Simpang KKA, mereka memprotes
penganiayaan yang dilakukan TNI. Aksi warga dibalas tembakan oleh aparat TNI
satuan Detasmen Rudal 001/Lilawangsa dan Yonif 113/Jaya Sakti.
Selain
melakukan tembakan ke arah masa, TNI juga mengarahkan tembakan ke rumah-rumah
penduduk, sehingga banyak warga yang sedang di dalam rumah juga menjadi korban.
Koalisi NGO HAM Aceh mencatat sedikitnya 46 warga sipil tewas, 156 mengalami
luka tembak, dan 10 orang hilang dalam peristiwa itu. Tujuh dari korban tewas
adalah anak-anak.
Sedangkan
kesimpulan Tim Ad Hoc Komnas HAM menyebutkan dalam peristiwa itu telah terjadi
kejahatan kemanusiaan yaitu:
a. Pembunuhan
Penduduk sipil yang menjadi korban pembunuhan
sebagai akibat dari tindakan aparat TNI yang terjadi di Simpang KKA
sekurang-kurangnya sebanyak 23 (dua puluh tiga) orang sebagai akibat
penembakan.
b. Penganiayaan
(Persekusi)
Penduduk
sipil yang menjadi korban penganiayaan (persekusi) sebagai akibat tindakan yang
dilakukan oleh aparat negara yang terjadi di Simpang KKA tercatat
sekurang-kurangnya sebanyak 30 (tiga puluh) orang.
Komnas
HAM merinci individu/komandan militer yang yang dapat dimintai
pertanggungjawabannya yaitu:
1. Komandan pembuat
kebijakan
a.
TNI
pada saat Peristiwa Simpang KKA 1999
b.
Pangdam
I/Bukit Barisan pada saat Peristiwa Simpang KKA 1999.
2. Komandan yang memiliki
kemampuan kontrol secara efektif (duty of control) terhadap anak buahnya
a.
Danrem
011 / Lilawangsa pada saat Peristiwa Simpang KKA 1999.
b.
Dandim
0103/Aceh Utara pada Peristiwa Simpang KKA 1999.
c.
Komandan
Batalyon Infantri 113/JS pada saat Peristiwa Simpang KKA 1999
d.
Komandan
Detasemen Arhanud Rudal 001/Pulo Rungkom pada saat Peristiwa Simpang KKA 1999.
e.
Danramil
Dewantara Kodim 0103/Aceh Utara
3. Individu/Komandan/Anggota
Kesatuan Yang Dapat Dimintai Pertanggungjawaban Sebagai Pelaku Lapangan
a.
Anggota
Detasemen Arhanud Rudal 001/Pulo Rungkom
b.
Anggota
Yonif 113/JS pada saat kejadian.
SEJARAH
PEMBANTAIAN A
RAKUNDO,
IDI CUT
Tragedi
Idi Cut, dikenal luas dengan nama ‘Tragedi Arakundo’, adalah sebuah peristiwa
pembantaian sipil yang terjadi tanggal 3 Februari 1999 di Idi Cut, Aceh Timur.
Menurut
sejumlah saksi mata, peristiwa yang dilancarkan tentara ABRI ini menewaskan
tujuh orang dan melukai ratusan orang lainnya. Para pelakunya sampai sekarang
belum ditangkap dan diadili hingga saat ini.
Para
korban pembantaian jasad mereka diceburkan ke Sungai Arakundo. Klaim ini
diperkuat oleh kesaksian korban yang mendengar kata-kata para serdadu ABRI saat
sedang membantai korban: "Kalian bunuh kawan kami. Kalian ceburkan mereka
ke sungai. rasakan balasannya."
Beberapa
korban lainnya menyebutkan para pelakunya adalah anggota Batalyon Linud 100.
Sebanyak 58 korban yang tertembak dinaikkan ke dalam truk aparat, baik yang
sudah tewas maupun yang terluka.
Tetapi
ada juga beberapa korban terluka yang tidak terangkut karena bersembunyi di
selokan samping jalan sehingga losos dari pembantaian.
Banyak
saksi mata melihat tiga truk militer yang mengangkut korban penembakan bergerak
menuju jembatan Sungai Arakundo.
Sebelum
diangkut ke truk, para korban diikat terlebih dahulu dengan kawat di sekujur
tubuhnya, kemudian dimasukkan ke karung goni milik masing-masing tentara yang
masih bertuliskan nama pelaku beserta pangkatnya.
Batu
besar diikatkan di setiap karung sebagai pemberat, lalu karung tersebut
dilemparkan ke Sungai Arakundo. Seorang saksi mata lain mengatakan bahwa
ceceran darah di sekitar jembatan Arakundo berusaha ditutup-tutupi dengan pasir
oleh tentara pemerintah Indonesia.
Pasir
tersebut adalah hasil penambangan penduduk sekitar sungai yang biasa ditumpuk
di dekat jembatan. Tanggal 4 Februari pukul 08.00-12.00 WIB, tentara masih
bertahan di sekitar lokasi pembantaian Idi Cut.
Penembakan
acak secara membabi buta pun masih terjadi sesekali. Hari itu juga sampai
keesokan harinya, penduduk desa melakukan pencarian di sungai dan berhasil
mengangkat enam karung berisi jenazah korban. Jasad korban ketujuh yang
ditembak mati ditemukan di dalam kendaraannya.
Puluhan
warga sipil terluka akibat insiden ini. 58 orang ditangkap dan kabarnya disiksa
saat ditahan di penjara. Pasca-insiden ini, 13 orang dilaporkan hilang dan
tidak pernah ditemukan lagi.
Pencarian
korban dilakukan dengan alat tradisional, karena tentara dan pihak lainnya
tidak membantu melakukan pencarian. Sebagian besar korban tidak mengapung,
karena di tubuh mereka diikat alat pemberat berupa batu.
Di
pinggir jembatan juga ditemukan peluru dan proyektil bermerek Pindad, produsen
senjata api asal Bandung yang memasok persenjataan ABRI.
Peristiwa
Idi Cut adalah satu dari lima kasus yang disarankan Amnesty International untuk
diproses secepatnya oleh Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh
(KPTKA).
Meski
Jaksa Agung sudah melaksanakan investigasi pada November 1999, sejauh ini belum
ada anggota aparat keamanan yang diadili atas aksi kebiadaban alat negara ini.
***
SEJARAH TSUNAMI ACEH
Gempa
dan gelombang tsunami pada 26 Desember 2004 lalu, diyakini bukanlah pertama
kali terjadi di Aceh. Bencana lebih dahsyat berupa megatsunami diperkirakan
pernah menerjang provinsi ujung Sumatra itu pada 1.400 tahun lalu. Hal inilah
yang membuat bencana tersebut akrab dalam catatan sejarah negeri eks konflik
ini.
Masyarakat
di Provinsi Aceh mengenal bencana alam berupa gelombang besar yang menerjang
pemukiman penduduk dalam berbagai sebutan, seperti Tsunami yang diperkenalkan
oleh masyarakat Jepang, Smong oleh masyarakat Semeulue serta Ie Beuna oleh
masyarakat pesisir Aceh lainnya.
”Di
Aceh memang mengenal adanya istilah ie beuna dan smong di kalangan masyarakat
Kabupaten Simeulue. Musibah itu diperkirakan jauh lebih dahsyat dibandingkan
musibah 26 Desember 2004 lalu,” kata Saiful Mahdi, Direktur Pusat Kajian
Internasional Tentang Aceh dan Lautan Indian (ICAIOS), Selasa (26/4).
Kata
Saiful, tsunami juga pernah menerjang Simeulue pada 1907. Masyarakat di sana
kemudian mengenang kejadian itu dengan sebutan smong dan cerita ini diwariskan
secara turun temurun.
”Pada
26 Desember 2004, sangat sedikit warga Simeulue menjadi korban. Artinya, orang
tua di sana sudah memperingatkan generasi muda Simeulue tentang tsunami dan
cara mengantisipasinya,” ungkap dia lagi.
Selain
itu, adanya megatsunami di Aceh dapat juga dibuktikan dengan temuan Tim Studi
Bencana Katastropika Purba dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berupa
bangunan kuno di dalam laut Aceh. Ini artinya, daratan yang ada di Aceh saat
ini sebenarnya sangat luas, namun sedikit-demi sedikit di kikis oleh laut
akibat bencana alam dalam berbagai bentuk.
Dahulu
kala, sejumlah kondisi yang menjadi lautan saat ini sebenarnya adalah
perkampungan penduduk. Namun karena bencana, daerah tersebut kemudian
ditinggalkan. Salah satu kasus yang membuktikan teori ini benar, terdapat di
Desa Lamnga, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar.
Menurut
pengakuan orang tua dan para penduduk disana, sebesarnya lokasi Desa Lamnga,
dulunya terletak disepanjang pinggiran laut dan tanah yang menjadi area tambak
dan sungai saat ini. Namun karena adanya suatu bencana, masyarakat kemudian
mengungsi ke lokasi yang lebih tinggi.
”Dulunya,
lokasi desa saat ini adalah dataran tinggi yang sering dijadikan oleh mujahid
Aceh untuk menyerang Belanda. Makanya, banyak kuburan kono di desa ini. Tetapi
karena bencana, akhirnya masyarakat memilih menetap disini,”ungkap M. Ali
Ibrahim, Sekdes Lamnga.
Sedangkan
lokasi desa sebelumnya, lanjut dia, kini tergenang dengan air. Penduduk baru
mengetahui hal ini setelah melakukan pengalian di sekitar daerah tersebut
dengan tujuan pembangunan tambak. Di area tanah tersebut, ditemukan banyak
peninggalan kuno, seperti piring, bangunan serta benda-benda yang memiliki
muatan sejarah lainnya.
”Menurut
orang tua, dulu terjadi perpindahan karena adanya ie beuna. Tapi, saya tidak
ingat kenjadian tersebut,”ungkap dia.
Adanya
sumber-sumber sejarah ini, membuktikan bahwa bencana alam memang akrab dengan
penduduk di Seramoe Mekkah. Namun bencana ini sering lupa dalam cacatan sejarah
sehingga harus menelan korban jiwa dalam jumlah yang banyak setiap kali bencana
tersebut kembali menyapa daerah ini.
Padahal,
jika bencana tersebut dijadikan sebagai pelajaran yang berharga dan informasi
turun temurun kepada setiap generasi. Daerah ini akan lebih siap untuk
menghadapi bencana.
Untuk
tingkat nasional, Penelitian Tim Studi Bencana Katastropika Purba LIPI dan
sejumlah lembaga penelitian lainnya, baik lembaga asing dan nasional juga
menemukan fakta-fakta terbaru mengenai megatsunami yang pernah menerjang
Indonesia.
Cacatan
sejarah dan referensi nasional, tsunami di Indonesia mulai terkenal sejak tahun
1833. dimana, saat itu gelombang laut yang besar menerjang sumatera, Indonesia.
Gempa berkekuatan 8,8-9,2 SR mengakibatkan tsunami besar yang menyapu pesisir
barat Sumatera.
Kemudian,
pada tahun 1883, gelombang tsunami juga menghntam krakatau, di Selat Sunda,
Indonesia. Muntahan magma Krakatau menyebabkan dasar laut runtuh dan
menimbulkan tsunami hingga 40 meter di atas permukaan laut. Tsunami menerjang
Samudra Hindia dan Pasifik hingga ke pantai barat Amerika dan Amerika Selatan.
Serangan
tsunami setinggi 10 sampai 15 meter, yang dipicu akibat gempa di dasar laut,
juga diperkirakan terjadi pada tahun 1994 di Jawa Timur, dengan korban tewas
238 orang, tsunami di Irian Jaya tahun 1996 yang menyebabkan 161 orang tewas,
atau yang terhebat tsunami di negara tetangga Papua Nugini, pada tahun 1998
yang menewaskan 2.200 orang.
Selanjutnya,
Pada 26 Desember 2044, giliran daerah ini diterjang gempa 9,1 SR yang
menimbulkan tsunami besar yang menewaskan 166 ribu di Aceh dan 320 ribu orang
dari delapan negara yang dilewati gelombang itu hingga ke Thailand, pantai
timur India, Sri Lanka, bahkan pantai timur Afrika di Somalia, Kenya, dan
Tanzania.
Tahun
2005 lalu, gempa berkekuatan 8,7 SR juga terjadi di lepas pantai Nias
menewaskan 1.300 orang. Sedangkan pada tahun 2006, giliran gempa berkekuatan
7,7 SR mengguncang dasar Samudra Hindia, tepatnya 200 KM selatan Pangandaran.
Gempa ini telah memicu gelombang tinggi hingga 6 meter di Pantai Cimerak serta
sekitar 800 orang dilaporkan hilang.
Sejak
dahulu kala, Indonesia, khususnya Aceh memang termasuk kawasan potensial gempa
bumi hebat. Penyebabnya, Indonesia berada di beberapa jalur patahan atau
tumbukan antara landas kontinen. Antara lain lempeng benua Asia dengan
Indo-Australia, yang bergerak dan memicu gempa Aceh.
Zona
patahan ini memanjang di Samudra Hindia, yaitu mulai dari Aceh di barat hingga
sekitar Laut Timor di timur. Pergerakan tektonik lempeng di kawasan ini,
seringkali memicu gempa hebat. Jika kekuatan gempa di dasar laut mencapai tujuh
pada skala Richter atau lebih, dapat dipastikan akan terjadi gelombang pasang
tsunami.
Pengukuran
dinas geologi di berbagai penjuru dunia, memperkirakan energi gempa yang
dilepaskan setara dengan energi letusan 10.000 bom atom. Akibatnya jutaan meter
kubik air laut tiba tiba tersedot ke bawah, kemudian seolah dimuntahkan kembali
membentuk gelombang berbentuk lingkaran, dengan kecepatan amat tinggi.
SEJARAH TRAGEDI BEUTONG ATEUH
Selain
menguras habis kekayaan alam Aceh, rezim Suharto juga melancarkan genosida atas
Muslim Aceh. Yang terkenal adalah masa DOM atau Operasi Jaring Merah
(1989-1998). Banyak peneliti DOM sepakat jika kekejaman rezim ini terhadap
Muslim Aceh bisa disetarakan dengan kekejaman yang dilakukan Milisi Serbia
terhadap Muslim Bosnia di era 1990-an. Wilayah NAD yang sangat luas, sekujur
tanahnya dijadikan kuburan massal di sana-sini. Muslim Aceh yang berabad-abad
hidup dalam izzah Islam, dihinakan oleh rezim fasis Suharto serendah-rendahnya.
Jika
Kamboja di bawah rezim Pol Pot dikenal memiliki The Killing Fields atau Ladang
pembantaian, maka di Aceh dikenal pula Bukit Tengkorak. Di Aceh, jumlah ladang
pembantaian yang besar ada 35 titik, ini jauh lebih banyak ketimbang ladang
pembantaian yang ada di Kamboja. Begitu banyak pameran kekejaman dan kebiadaban
yang ditimpakan terhadap Muslim Aceh oleh rezim Suharto, sehingga jika
dijadikan buku maka bukan mustahil, riwayat Tragedi Aceh akan menyamai tebalnya
jumlah halaman koleksi perpustakaan Iskandariyah sebelum dibakar habis pasukan
Mongol.
Dari
jutaan kasus kejahatan HAM di Aceh, salah satunya adalah tragedi yang menimpa
Tengku Bantaqiah, pemimpin Dayah (Pondok Pesantren) Babul Nurillah di Beutong
Ateuh pada 23 Juli 1999. Ironisnya, walau secara resmi DOM sudah dicabut, namun
kekejaman dan kebiadaban yang menimpa Muslim Aceh tidaklah surut. Tragedi yang
menimpa Tengku Bantaqiah dan santrinya merupakan bukti.
Lengsernya
Suharto pada Mei 1998 tidak berarti lengsernya sistem dan tabiat kekuasaan
represif ala Orde Baru. Para presiden setelah Suharto seperti Habbie,
Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono, semuanya pada
kenyataannya malah melestarikan sistem Orde Baru ini. Salah satu buktinya
adalah KKN yang di era reformasi ini bukannya hilang namun malah tetap abadi
dan berkembang penuh inovasi.
Sebab
itulah, dicabutnya status DOM di Aceh pada 1998 tidak serta-merta tercerabutnya
teror dan kebiadaban yang selama ini bergentayangan di Aceh. Feri Kusuma, salah
seorang aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh
menulis secara khusus tentang Tragedi Tengku Bantaqiah ini. Dalam artikel
berjudul ‘Jubah Putih di Beutong Ateuh’, Feri mengawali dengan kalimat,
“Beutong Ateuh memiliki sejarah yang cukup panjang. Daerah ini dibangun sejak
masa kolonial Belanda, begitu orang Beutong bersaksi. Kecamatan Beutong Ateuh
terdiri dari empat desa yaitu Blang Meurandeh, Blang Pu’uk, Kuta Teungoh dan
Babak Suak. Kondisi geografisnya cocok untuk bersantai sambil menikmati
panorama alam yang indah. Di daerah yang terletak di antara dua gunung ini mengalir
sungai Beutong yang sejuk dan jernih. Pegunungannya yang mengelilingi Beutong
Ateuh termasuk gugusan Bukit Barisan…”
Eramuslim
yang pernah mengunjungi hutan belantara ini di tahun 2001, dua tahun setelah
tragedi, menjumpai kondisi yang sangat mengenaskan. Bukan saja di Beutong
Ateuh, namun juga nyaris di seluruh wilayah Aceh. Kemiskinan ada di mana-mana,
padahal tanah Aceh adalah tanah yang sangat kaya raya dengan sumber daya
alamnya. Jakarta telah menghisap habis kekayaan Aceh!
Beutong
Ateuh terletak di perbatasan Aceh Tengah dan Aceh Barat. Dari Ule Jalan ke
Beutong Ateuh, kita akan melewati pos kompi Batalyon 113/Jaya Sakti yang
terletak di areal kebun kelapa sawit. Di areal kompi ini, tepatnya di gapura,
terpasang papan pengumuman berisi tulisan “TEMPAT LATIHAN PERANG TNI”. Sekitar
10 kilometer dari kompi itu terpancang sebuah petunjuk jalan yang bertuliskan
“SIMPANG CAMAT”; tanda menuju ke sebuah pemukiman. Namun tidak ada sebuah rumah
pun di daerah ini. Sejauh mata memandang hanya tampak rerimbunan pohon besar di
atas bukit dan jurang yang menganga. Tak heran jika hutan Cut Nyak Dien dan
pasukannya memilih hutan ini sebagai pertahanan terakhir.
Walau
berjarak lebih kurang 15 kilometer dari hutan ini, namun Kecamatan Beutong
Ateuh tidak berbeda dengan hutan Simpang Camat. Di tengah-tengah hutan, kain
putih usang terlihat berkibaran di areal Dayah. Kubah mushola, atap beberapa
rumah, dan bilik pengajian yang berhadapan langsung dengan sungai Beutong
terlihat jelas.
Tengku
Bantaqiah mendirikan pesantren di desa Blang Meurandeh pada 1982 dan memberinya
nama Babul Al Nurillah. Abu Bantaqiah, begitu para murid memanggilnya, adalah
alim ulama yang disegani dan dihormati. Disini, Dayah Babul Al Nurillah
mengajarkan ilmu agama, seni bela diri, dan juga berkebun dengan menanam
berbagai macam sayuran untuk digunakan sendiri.
Kegiatan
di Dayah ini tidak berbeda dengan pesantren lainnya di berbagai daerah di
Indonesia. Selain mereka yang menetap di Dayah, ada pula orang-orang yang
sengaja datang dan belajar agama untuk mengisi libur kerja atau sekolah.
Jumlahnya lebih banyak daripada santri yang tinggal di pesantren.
Di
Dayah ini, para santrinya kebanyakan adalah mereka yang pernah melakukan
tindakan-tindakan tak terpuji di masyarakat seperti mabuk-mabukan, mencuri atau
kejahatan lain yang merugikan dirinya sendiri maupun orang banyak. “Menurut
Tengku Bantaqiah, untuk apa mengajak orang yang sudah ada di dalam masjid,
justru mereka yang masih di luar masjidlah yang harus kita ajak. Itulah dasar
dari penerimaan orang-orang seperti mereka tadi menjadi murid di sini,” tulis
Feri Kusuma.
Bantaqiah
adalah ulama yang teguh pendirian, sederhana, dan tidak goyah dengan godaan
dunia. Baginya, dunia ada di dalam genggamannya, bukan di hatinya. Mungkin
sebab itu dia pernah menolak bergabung sebagai anggota MUI cabang Aceh.
Bantaqiah juga tidak bersedia masuk ke dalam partai politik mana pun. Baginya,
Partai Allah sudah lebih dari cukup, tidak untuk yang lain. Sebab itu,
Bantaqiah sering difitnah oleh orang yang berseberangan dengan dirinya. Ia
dituduh mengajarkan kesesatan dan pada 1985 dicap dengan sebutan Gerombolan
Jubah Putih. Pemerintah Aceh berusaha melunakkan sikap Bantaqiah dengan
membangunkan sebuah pesantren untuknya, namun lokasinya di kecamatan Beutong
Bawah, jauh dari Babul Al Nurillah. Ini membuatnya menolak “pesantren sogokan”
tersebut. Hal ini membuat hubungan Bantaqiah dengan Pemerintah setempat kurang
harmonis. Dia dituduh sebagai salah satu petinggi GAM pada 192 dan dijebloskan
ke penjara dengan hukuman 20 tahun.
Ketika
Habibie menggantikan Suharto dan menyempatkan diri ke Aceh, Bantaqiah
dibebaskan. Namun hal ini rupanya tidak berkenan di hati tentara hasil didikan
rezim Suharto. Di mata tentara, Bantaqiah adalah sama saja dengan
kelompok-kelompok bersenjata Aceh yang tidak mau menerima Pancasila. Sebab itu
keberadaannya harus dienyahkan dari negeri Pancasila ini.
0 komentar:
Posting Komentar