Menengok keadaan saat ini, betapa
banyak orang yang melakukan perbuatan yang amat tercela ini. Bahkan hampir kita
dapati dalam semua lapisan masyarakat, dari masyarakat yang paling bawah,
menengah sampai kalangan atas. Khalayak pun kemudian menggolongkan para pelaku
korupsi ini menjadi berkelas-kelas. Mulai koruptor kelas teri sampai kelas
kakap. Dalam lingkup masyarakat bawah, mungkin pernah atau bahkan banyak kita
jumpai, seseorang yang mendapat amanah untuk membelanjakan sesuatu, kemudian
setelah dibelanjakan, uang yang diberikan pemiliknya masih tersisa, tetapi dia
tidak memberitahukan adanya sisa uang tersebut, meskipun hanya seratus rupiah,
melainkan masuk ke ‘saku’nya, atau dengan cara memanipulasi nota belanja. Adapun
koruptor kelas kakap, maka tidak tanggung-tanggung yang dia ‘embat’ sampai
milyaran bahkan triliyunan. Sejauh mana bahaya perbuatan ini? Kami mencoba
mengulasnya dengan mengambil salah satu hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam berikut ini. Semoga bermanfaat, dan kita dapat menghindari ataupun
mewaspadai bahayanya.
Dari ‘Adiy bin ‘Amirah Al Kindi
Radhiyallahu 'anhu berkata : Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda :
((مَنْ
اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ
كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ))، قَالَ: فَقَامَ إِلَيْهِ
رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنْ الْأَنْصَارِ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ، فَقَالَ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ، قَالَ: ((وَمَا لَكَ؟))، قَالَ: سَمِعْتُكَ
تَقُولُ كَذَا وَكَذَا، قَالَ: ((وَأَنَا أَقُولُهُ الْآنَ، مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ
مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَلْيَجِئْ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ فَمَا أُوتِيَ مِنْهُ
أَخَذَ وَمَا نُهِيَ عَنْهُ انْتَهَى)).
“Barangsiapa di antara kalian yang
kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami
sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta
korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”. (‘Adiy) berkata : Maka ada
seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, seolah-olah aku melihatnya, lalu dia berkata,"Wahai Rasulullah,
copotlah jabatanku yang engkau tugaskan." Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bertanya,"Ada apa gerangan?” Dia menjawab,"Aku mendengar
engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di atas, Pen.)."
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata,"Aku katakan sekarang,
(bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan
(urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak.
Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya.
Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.”
TAKHRIJ HADITS
- Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim
dalam Shahih-nya dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadaya al ‘Ummal, hadits no.
3415.
- Abu Dawud dalam Sunan-nya dalam
kitab al Aqdhiyah, bab Fi Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3110.
- Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 17264
dan 17270, dari jalur Isma’il bin Abu Khalid, dari Qais bin Abu Hazim, dari
Sahabat ‘Adiy bin ‘Amirah al Kindi Radhiyallahu 'anhu di atas. Adapun lafadz
hadits di atas dibawakan oleh Muslim.
BIOGRAFI SINGKAT ‘ADIY BIN ‘AMIRAH
RADHIYALLAHU 'ANHU
Beliau merupakan sahabat mulia,
dengan nama lengkapnya ‘Adiy bin ‘Amirah bin Farwah bin Zurarah bin al Arqam,
Abu Zurarah al Kindi. Beliau hanya sedikit meriwayatkan hadits Rasululllah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, di antaranya adalah hadits ini.
Beliau wafat pada masa kekhalifahan
Mu’awiyah Radhiyallahu 'anhu. Ada pula yang berpendapat selain itu. Wallahu
a’lam bish shawab.
MUFRADAT (KOSA KATA)
Kata ghululan (غُلُولاً)
dalam lafadz Muslim, atau ghullun (غُلٌّ) dalam lafadz Abu Dawud,
keduanya dengan huruf ghain berharakat dhammah. Ini mengandung beberapa
pengertian, di antaranya bermakna belenggu besi, atau berasal dari kata kerja
ghalla (غَلَّ) yang berarti khianat. Ibnul Katsir menerangkan, kata al ghulul
(الْغُلُولُ), pada asalnya bermakna khianat dalam urusan harta rampasan
perang, atau mencuri sesuatu dari harta rampasan perang sebelum dibagikan.
Kemudian, kata ini digunakan untuk setiap perbuatan khianat dalam suatu urusan
secara sembunyi-sembunyi.
Jadi, kata ghulul (الْغُلُولُ)
di atas, secara umum digunakan untuk setiap pengambilan harta oleh seseorang
secara khianat, atau tidak dibenarkan dalam tugas yang diamanahkan kepadanya
(tanpa seizin pemimpinnya atau orang yang menugaskannya). Dalam bahasa kita
sekarang, perbuatan ini disebut korupsi, seperti tersebut dalam hadits yang
sedang kita bahas ini.
MAKNA HADITS
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menyampaikan peringatan atau ancaman kepada orang yang ditugaskan untuk
menangani suatu pekerjaan (urusan), lalu ia mengambil sesuatu dari hasil
pekerjaannya tersebut secara diam-diam tanpa seizin pimpinan atau orang yang
menugaskannya, di luar hak yang telah ditetapkan untuknya, meskipun hanya
sebatang jarum. Maka, apa yang dia ambil dengan cara tidak benar tersebut akan
menjadi belenggu, yang akan dia pikul pada hari Kiamat. Yang dia lakukan ini
merupakan khianat (korupsi) terhadap amanah yang diembannya. Dia akan dimintai
pertanggungjawabnya nanti pada hari Kiamat.
Ketika kata-kata ancaman tersebut
didengar oleh salah seorang dari kaum Anshar, yang orang ini merupakan satu di
antara para petugas yang ditunjuk oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, serta merta dia merasa takut. Dia meminta kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam untuk melepaskan jabatannya. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam menjelaskan, agar setiap orang yang diberi tugas dengan suatu pekerjaan,
hendaknya membawa hasil dari pekerjaannya secara keseluruhan, sedikit maupun
banyak kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian mengenai pembagiannya,
akan dilakukan sendiri oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Apa yang
diberikan, berarti boleh mereka ambil. Sedangkan yang ditahan oleh beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka mereka tidak boleh mengambilnya.
SYARAH HADITS
Hadits di atas intinya berisi
larangan berbuat ghulul (korupsi), yaitu mengambil harta di luar hak yang telah
ditetapkan, tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya. Seperti
ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Buraidah Radhiyallahu 'anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
((مَنِ
اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقاً فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ
فَهُوَ غُلُولٌ)).
"Barangsiapa yang kami tugaskan
dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa
yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi)".
Asy Syaukani menjelaskan, dalam
hadits ini terdapat dalil tidak halalnya (haram) bagi pekerja (petugas)
mengambil tambahan di luar imbalan (upah) yang telah ditetapkan oleh orang yang
menugaskannya, dan apa yang diambilnya di luar itu adalah ghulul (korupsi).
Dalam hadits tersebut maupun di atas,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan secara global bentuk
pekerjaan atau tugas yang dimaksud. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa
peluang melakukan korupsi (ghulul) itu ada dalam setiap pekerjaan dan tugas,
terutama pekerjaan dan tugas yang menghasilkan harta atau yang berurusan
dengannya. Misalnya, tugas mengumpulkan zakat harta, yang bisa jadi bila
petugas tersebut tidak jujur, dia dapat menyembunyikan sebagian yang telah
dikumpulkan dari harta zakat tersebut, dan tidak menyerahkan kepada pimpinan
yang menugaskannya.
HUKUM SYARI’AT TENTANG KORUPSI
Sangat jelas, perbuatan korupsi
dilarang oleh syari’at, baik dalam Kitabullah (al Qur`an) maupun hadits-hadits
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih.
Di dalam Kitabullah, di antaranya
adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ ۚ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ
بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ
"Tidak mungkin seorang nabi
berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa yang berkhianat
(dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang
membawa apa yang dikhianatkannya itu …" [Ali Imran: 161].
Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu
wa Ta'ala mengeluarkan pernyataan bahwa, semua nabi Allah terbebas dari sifat
khianat, di antaranya dalam urusan rampasan perang.
Menurut penjelasan Ibnu Abbas
Radhiyallahu 'anhuma, ayat ini diturunkan pada saat (setelah) perang Badar,
orang-orang kehilangan sepotong kain tebal hasil rampasan perang. Lalu sebagian
mereka, yakni kaum munafik mengatakan, bahwa mungkin Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam telah mengambilnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan
ayat ini untuk menunjukkan jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
terbebas dari tuduhan tersebut.
Ibnu Katsir menambahkan, pernyataan
dalam ayat tersebut merupakan pensucian diri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dari segala bentuk khianat dalam penunaian amanah, pembagian rampasan
perang, maupun dalam urusan lainnya. Hal itu, karena berkhianat dalam urusan
apapun merupakan perbuatan dosa besar. Semua nabi Allah ma’shum (terjaga) dari
perbuatan seperti itu.
Mengenai besarnya dosa perbuatan ini,
dapat kita pahami dari ancaman yang terdapat dalam ayat di atas, yaitu ketika
Allah mengatakan : “Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang
itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu
…”
Ibnu Katsir mengatakan,"Di
dalamnya terdapat ancaman yang amat keras.”
Selain itu, perbuatan korupsi
(ghulul) ini termasuk dalam kategori memakan harta manusia dengan cara batil
yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana dalam firmanNya :
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقاً مِنْ أَمْوَالِ
النَّاسِ بِالْأِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
"Dan janganlah sebagian kamu
memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan
janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kamu mengetahui" [al Baqarah/2:188]
Juga firmanNya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
"Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…" [an
Nisaa`/4 : 29].
Adapun larangan berbuat ghulul
(korupsi) yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka
hadits-hadits yang menunjukkan larangan ini sangat banyak, di antaranya hadits
dari ‘Adiy bin ‘Amirah Radhiyallahu 'anhu dan hadits Buraidah Radhiyallahu
'anhu di atas.
PINTU-PINTU KORUPSI
Peluang melakukan korupsi ada di
setiap tempat, pekerjaan ataupun tugas, terutama yang diistilahkan dengan
tempat-tempat “basah”. Untuk itu, setiap muslim harus selalu berhati-hati,
manakala mendapatkan tugas-tugas. Dengan mengetahui pintu-pintu ini, semoga
kita selalu waspada dan tidak tergoda, sehingga nantinya mampu menjaga amanah
yang menjadi tanggung jawab kita.
Berikut adalah di antara pintu-pintu
korupsi.
1. Saat pengumpulan harta rampasan
perang, sebelum harta tersebut dibagikan.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menceritakan :
((غَزَا
نَبِيٌّ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ فَقَالَ لِقَوْمِهِ لَا يَتْبَعْنِي رَجُلٌ مَلَكَ
بُضْعَ امْرَأَةٍ وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يَبْنِيَ بِهَا وَلَمَّا يَبْنِ بِهَا وَلَا
أَحَدٌ بَنَى بُيُوتًا وَلَمْ يَرْفَعْ سُقُوفَهَا وَلَا أَحَدٌ اشْتَرَى غَنَمًا
أَوْ خَلِفَاتٍ وَهُوَ يَنْتَظِرُ وِلَادَهَا فَغَزَا فَدَنَا مِنْ الْقَرْيَةِ
صَلَاةَ الْعَصْرِ أَوْ قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ فَقَالَ لِلشَّمْسِ إِنَّكِ
مَأْمُورَةٌ وَأَنَا مَأْمُورٌ اللَّهُمَّ احْبِسْهَا عَلَيْنَا فَحُبِسَتْ حَتَّى
فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَجَمَعَ الْغَنَائِمَ فَجَاءَتْ يَعْنِي النَّارَ
لِتَأْكُلَهَا فَلَمْ تَطْعَمْهَا فَقَالَ إِنَّ فِيكُمْ غُلُولًا
فَلْيُبَايِعْنِي مِنْ كُلِّ قَبِيلَةٍ رَجُلٌ فَلَزِقَتْ يَدُ رَجُلٍ بِيَدِهِ
فَقَالَ فِيكُمْ الْغُلُولُ فَلْيُبَايِعْنِي قَبِيلَتُكَ فَلَزِقَتْ يَدُ
رَجُلَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ بِيَدِهِ فَقَالَ فِيكُمْ الْغُلُولُ فَجَاءُوا
بِرَأْسٍ مِثْلِ رَأْسِ بَقَرَةٍ مِنْ الذَّهَبِ فَوَضَعُوهَا فَجَاءَتْ النَّارُ
فَأَكَلَتْهَا، ثُمَّ أَحَلَّ اللَّهُ لَنَا الْغَنَائِمَ رَأَى ضَعْفَنَا
وَعَجْزَنَا فَأَحَلَّهَا لَنَا))
"Ada seorang nabi berperang,
lalu ia berkata kepada kaumnya : "Tidak boleh mengikutiku (berperang)
seorang yang telah menikahi wanita, sementara ia ingin menggaulinya, dan ia
belum melakukannya; tidak pula seseorang yang yang telah membangun rumah,
sementara ia belum memasang atapnya; tidak pula seseorang yang telah membeli
kambing atau unta betina yang sedang bunting, sementara ia menunggu
(mengharapkan) peranakannya".
Lalu nabi itu pun berperang dan
ketika sudah dekat negeri (yang akan diperangi) tiba atau hampir tiba shalat
Ashar, ia berkata kepada matahari : "Sesungguhnya kamu diperintah, dan aku
pun diperintah. Ya Allah, tahanlah matahari ini untuk kami," maka
tertahanlah matahari itu hingga Allah membukakan kemenangan baginya. Lalu ia
mengumpulkan harta rampasan perang. Kemudian datang api untuk melahapnya,
tetapi api tersebut tidak dapat melahapnya. Dia (nabi itu) pun berseru (kepada
kaumnya): "Sesungguhnya di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul
(mengambil harta rampasan perang secara diam-diam). Maka, hendaklah ada satu orang
dari setiap kabilah bersumpah (berbai’at) kepadaku," kemudian ada tangan
seseorang menempel ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu)
berkata,"Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul, maka hendaknya
kabilahmu bersumpah (berbai’at) kepadaku," kemudian ada tangan dari dua
atau tiga orang menempel ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia
(nabi itu) berkata,"Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul," maka
mereka datang membawa emas sebesar kepala sapi, kemudian mereka meletakkannya,
lalu datanglah api dan melahapnya. Kemudian Allah menghalalkan harta rampasan
perang bagi kita (karena) Allah melihat kelemahan kita.
2. Ketika pengumpulan zakat maal
(harta).
Seseorang yang diberi tugas
mengumpulkan zakat maal oleh seorang pemimpin negeri, jika tidak jujur, sangat
mungkin ia mengambil sesuatu dari hasil (zakat maal) yang telah dikumpulkannya,
dan tidak menyerahkannya kepada pemimpin yang menugaskannya. Atau dia mengaku
yang dia ambil adalah sesuatu yang dihadiahkan kepadanya. Peristiwa semacam ini
pernah terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau
memperingatkan dengan keras kepada petugas yang mendapat amanah mengumpulkan
zakat maal tersebut dengan mengatakan :
((أَفَلَا
قَعَدْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ فَنَظَرْتَ أَيُهْدَى لَكَ أَمْ لَا))
"Tidakkah kamu duduk saja di
rumah bapak-ibumu, lalu lihatlah, apakah kamu akan diberi hadiah (oleh orang
lain) atau tidak?"
Kemudian pada malam harinya selepas
shalat Isya’ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berceramah (untuk
memperingatkan perbuatan ghulul kepada khalayak). Di antara isi penjelasan
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan :
((فَوَالَّذِي
نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَغُلُّ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْئًا إِلَّا جَاءَ
بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا جَاءَ
بِهِ لَهُ رُغَاءٌ وَإِنْ كَانَتْ بَقَرَةً جَاءَ بِهَا لَهَا خُوَارٌ وَإِنْ
كَانَتْ شَاةً جَاءَ بِهَا تَيْعَرُ))
"(Maka) Demi (Allah), yang jiwa
Muhammad berada di tanganNya. Tidaklah seseorang dari kalian mengambil
(mengkorupsi) sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada
hari Kiamat membawanya di lehernya. Jika (yang dia ambil) seekor unta, maka
(unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun)
bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun)
bersuara …"
3. Hadiah untuk petugas, dengan tanpa
sepengetahuan dan izin pemimpin atau yang menugaskannya.
Dalam hal ini, Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam pernah bersabda :
((هَدَايَا
الْعُمَّالِ غُلُولٌ))
"Hadiah untuk para petugas
adalah ghulul".
4. Setiap tugas apapun, terutama yang
berurusan dengan harta, seperti seorang yang mendapat amanah memegang
perbendaharaan negara, penjaga baitul maal atau yang lainnya, terdapat peluang
bagi seseorang yang berniat buruk untuk melakukan ghulul (korupsi), padahal dia
sudah memperoleh upah yang telah ditetapkan untuknya. Telah disebutkan dalam
hadits yang telah lalu, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
yang artinya : Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami
tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah
harta ghulul (korupsi).
BAHAYA BUATAN GHULUL (KORUPSI)
Tidaklah Allah melarang sesuatu,
melainkan di balik itu terkandung keburukan dan mudharat (bahaya) bagi
pelakunya. Begitu pula dengan perbuatan korupsi (ghulul), tidak luput dari
keburukan dan mudharat tersebut. Diantaranya :
1. Pelaku ghulul (korupsi) akan
dibelenggu, atau ia akan membawa hasil korupsinya pada hari Kiamat, sebagaimana
ditunjukkan dalam ayat ke-161 surat Ali Imran dan hadits ‘Adiy bin ‘Amirah
Radhiyallahu 'anhu di atas. Dan dalam hadits Abu Humaid as Sa’idi Radhiyallahu
'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
((... وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ
بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ...))
"Demi (Allah), yang jiwaku
berada di tanganNya. Tidaklah seseorang mengambil sesuatu daripadanya (harta
zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya.
Jjika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia
ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil)
seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara …”
2. Perbuatan korupsi menjadi penyebab
kehinaan dan siksa api neraka pada hari Kiamat.
Dalam hadits Ubadah bin ash Shamit
Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
((... فَإِنَّ
الْغُلُولَ عَارٌ عَلَى أَهْلِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشَنَارٌ وَنَارٌ))
"…(karena) sesungguhnya ghulul
(korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya".
3. Orang yang mati dalam keadaan
membawa harta ghulul (korupsi), ia tidak mendapat jaminan atau terhalang masuk
surga. Hal itu dapat dipahami dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
((مَنْ
فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنْ
الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ))
"Barangsiapa berpisah ruh dari
jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin)
masuk surga. Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi) dan hutang".
4. Allah tidak menerima shadaqah
seseorang dari harta ghulul (korupsi), sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam :
((لَا
تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ))
"Shalat tidak akan diterima
tanpa bersuci, dan shadaqah tidak diterima dari harta ghulul (korupsi)".
5. Harta hasil korupsi adalah haram,
sehingga ia menjadi salah satu penyebab yang dapat menghalangi terkabulnya
do’a, sebagaimana dipahami dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
((أَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ
أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا
الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ
طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ
أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ
حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ
فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ))
"Wahai manusia, sesungguhnya
Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah
memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa yang Allah perintahkan kepada
para rasul. Allah berfirman,"Wahai para rasul, makanlah dari yang
baik-baik dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa
yang kalian kerjakan". Dia (Allah) juga berfirman: "Wahai orang-orang
yang beriman, makanlah yang baik-baik dari yang Kami rizkikan kepada
kamu," kemudian beliau (Rasulullah) Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan
seseorang yang lama bersafar, berpakaian kusut dan berdebu. Dia menengadahkan
tangannya ke langit (seraya berdo’a): "Ya Rabb…, ya Rabb…," tetapi
makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dirinya dipenuhi
dengan sesuatu yang haram. Maka, bagaimana do’anya akan dikabulkan?".
Demikian yang bisa tuliskan untuk
para pembaca seputar masalah korupsi. Mudah-mudahan Allah menyelamatkan kita
dari segala keburukan yang lahir maupun tersembunyi. Dan semoga uraian singkat
ini bermanfaat.
Wallahu a’lam bish Shawab.
0 komentar:
Posting Komentar