1.
Materialisme
Materialisme
adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan
benar-benar ada
adalah materi.
Pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil
interaksi material. Materi adalah satu-satunya substansi. Sebagai teori
materialisme termasuk paham ontologi monistik. Materialisme berbeda dengan teori ontologis
yang didasarkan pada dualisme atau pluralisme. Dalam memberikan penjelasan tunggal tentang
realitas, materialisme berseberangan dengan idealisme
2.
Kewajiban Materialistis
Informasi
yang telah disampaikan sejauh ini menunjukkan bahwa teori evolusi tidak
memiliki dasar ilmiah; dan sebaliknya, pernyataan-pernyataan evolusi
bertentangan dengan temuan-temuan ilmiah. Dengan kata lain, kekuatan yang
menyokong evolusi bukanlah ilmu pengetahuan. Evolusi memang dibela oleh
beberapa "ilmuwan", tetapi pasti ada kekuatan lain yang berperan.
Kekuatan ini adalah filsafat
materialis.
filsafat
materialis merupakan salah satu sistem pemikiran tertua dalam sejarah manusia.
Karakteristiknya yang paling mendasar adalah anggapan bahwa materi itu absolut.
Menurut filsafat ini, materi tidak terbatas (infinite), dan segala
sesuatu terdiri dari materi, dan hanya materi. Pendekatan ini menutup
kemungkinan terhadap kepercayaan kepada Pencipta. Oleh sebab itu, materialisme
sejak lama memusuhi agama-agama yang memiliki keyakinan terhadap Allah.
Jadi,
pertanyaannya sekarang: apakah cara pandang materialis itu benar? Untuk
mengujinya, kita harus menyelidiki pernyataan-pernyataan filsafat tersebut yang
berkaitan dengan ilmu pengetahuan, dengan menggunakan metode-metode ilmiah.
Misalnya, seorang filsuf abad ke-10 dapat mengatakan bahwa ada pohon keramat di
permukaan bulan, dan semua makhluk hidup tumbuh seperti buah pada
cabang-cabangnya lalu jatuh ke bumi. Sebagian orang mungkin menganggap filsafat
ini menarik dan mempercayainya. Namun pada abad ke-20, ketika manusia telah
sampai ke bulan, filsafat semacam ini tidak mungkin dikemukakan. Ada atau
tidaknya pohon semacam itu di sana dapat ditentukan dengan metode-metode
ilmiah, yaitu dengan pengamatan dan eksperimen.
Dengan
metode ilmiah, kita dapat menyelidiki pernyataan materialis bahwa materi itu
abadi, dan materi ini dapat mengorganisir diri tanpa memerlukan Pencipta serta
mampu memunculkan kehidupan. Namun sejak awal, kita melihat bahwa materialisme
telah runtuh karena gagasan ten-tang kekekalan materi telah dihancurkan oleh
teori Dentuman Besar (Big Bang), yang menunjukkan bahwa jagat raya diciptakan
dari ketiadaan. Pernyataan bahwa materi dapat mengorganisir diri dan
memunculkan kehidupan adalah pernyataan "teori evolusi" - teori yang
telah dibahas oleh buku ini dan ditunjukkan keruntuhannya.
Akan
tetapi, jika seseorang berkeras mempercayai materialisme dan mendahulukan
kesetiaan pada paham ini daripada hal-hal lainnya, maka ia tidak akan
menggunakan metode ilmiah. Jika orang tersebut "mendahulukan
materialismenya daripada keilmuwanannya", maka ia tidak akan
meninggalkan materialisme sekali pun tahu bahwa konsep evolusi tidak diakui
ilmu pengetahuan. Sebaliknya, ia berusaha menegakkan dan menyelamatkan paham
ini dengan mendukung konsep evolusi apa pun yang terjadi. Inilah keadaan sulit
yang dihadapi evolusionis.
Yang
menarik, ternyata mereka pun mengakui fakta ini dari waktu ke waktu. Ahli
genetika evolusionis terkenal dari Universitas Harvard, Richard C. Lewontin,
mengakui bahwa dia "materialis dulu baru ilmuwan" dengan kata-kata
berikut:
Bukan
metode dan penemuan-penemuan ilmiah yang mendorong kami menerima penjelasan material
tentang dunia yang fenomenal ini. Sebaliknya, kami dipaksa oleh keyakinan
apriori kami terhadap prinsip-prinsip material untuk menciptakan perangkat
penyelidikan dan serangkaian konsep yang menghasilkan penjelasan material,
betapa pun bertentangan dengan intuisi, atau membingungkan orang-orang yang
tidak berpengetahuan. Lagi-pula, materialisme itu absolut, jadi kami tidak
bisa membiarkan Kaki Tuhan masuk.1
Istilah
"apriori" yang digunakan Lewontin ini sangat penting. Istilah
filosofis ini merujuk pada praduga tanpa dasar pengetahuan eksperimental.
Sebuah pemikiran dikatakan "apriori" jika Anda menganggapnya benar
dan menerimanya, meskipun tidak ada informasi tentang kebenaran pemikiran
tersebut. Seperti yang diungkapkan Lewontin secara jujur, materialisme adalah
sebuah "apriori" yang memang disediakan bagi evolusionis dan mereka
mencoba menyesuaikan ilmu pengetahuan dengannya. Karena materialisme
mengharuskan pengingkaran akan keberadaan Pencipta, mereka memilih satu-satunya
alternatif yang mereka miliki, yaitu teori evolusi. Mereka tidak peduli jika
evolusi telah menyimpang dari fakta-fakta ilmiah. Ilmuwan seperti mereka telah
menerima "apriori" sebagai kebenaran.
Sikap
berprasangka ini membawa evolusionis kepada keyakinan bah-wa "materi yang
tak berkesadaran telah membentuk diri sendiri", yang bertentangan dengan
ilmu pengetahuan juga akal sehat. Profesor kimia yang juga pakar DNA dari
Universitas New York, Robert Shapiro, seperti telah dikutip sebelumnya,
menjelaskan keyakinan evolusionis dan dogma materialis ini sebagai berikut:
Maka
diperlukan prinsip evolusi lain untuk menjembatani antara campuran-campuran
kimia alami sederhana dengan replikator efektif pertama. Prinsip ini belum
dijelaskan secara teperinci ataupun didemonstrasikan, namun telah diantisipasi
dan diberi nama evolusi kimia dan pengorganisasian materi secara mandiri.
Keberadaan prinsip ini diterima sebagai keyakinan dalam filsafat materialisme
dialektis, sebagaimana diterapkan pada asal-usul kehidupan oleh Alexander
Oparin.2
Propaganda
evolusionis yang selalu kita temui dalam media terkemuka di Barat serta
majalah-majalah ilmu pengetahuan terkenal dan bergengsi, muncul dari keharusan
ideologis ini. Karena dirasa sangat diperlukan, evolusi dikeramatkan oleh
kalangan yang menetapkan standar-standar ilmu pengetahuan.
Demi
menjaga reputasi, beberapa ilmuwan terpaksa mempertahankan teori yang
berlebihan ini, atau setidaknya berusaha untuk tidak mengatakan apa pun yang
bertentangan dengannya. Akademisi di negara-negara Barat diharuskan
menerbitkan artikel mereka di majalah-majalah ilmu pengetahuan tertentu untuk
mendapatkan dan mempertahankan posisi "keprofesoran". Semua majalah
yang berhubungan dengan biologi dikendalikan oleh evolusionis, dan mereka tidak
mengizinkan artikel anti evolusi muncul di majalah mereka. Karenanya, setiap
ahli biologi harus melakukan studinya di bawah dominasi teori evolusi. Mereka
juga bagian dari tatanan mapan yang memandang evolusi sebagai keharusan
ideologis. Itulah sebabnya mereka secara buta membela "kebetulan-kebetulan
mustahil" yang telah kita bicarakan sejauh ini.
3. Pengakuan-pengakuan Materialis
Pernyataan
ahli biologi evolusionis terkenal dari Jerman, Hoimar Von Dithfurt, merupakan
contoh nyata pemahaman materialis yang fanatik. Setelah mengutarakan contoh
susunan kehidupan yang sangat kompleks, selanjutnya ia mengungkapkan
kemungkinan kehidupan muncul secara kebetulan:
Mungkinkah
keserasian seperti itu terjadi secara kebetulan? Inilah pertanyaan mendasar
dari keseluruhan evolusi biologis. Menjawabnya dengan "Ya, mungkin"
berarti membuktikan kesetiaan pada ilmu alam modern. Secara kritis dapat dikatakan,
mereka yang menerima ilmu alam modern tidak punya pilihan selain mengatakan
"ya", karena dengan ini dia akan dapat menjelas-kan fenomena alam
melalui cara-cara yang mudah dipahami dan merujuk pada hukum-hukum alam tanpa
menyertakan campur tangan metafisis. Bagaimanapun, menjelaskan segala sesuatu
dengan hukum alam, yakni konsep kebetulan, merupakan pertanda bahwa tidak ada
lagi jalan baginya. Karena, apa yang dapat dilakukannya selain mempercayai
konsep kebetulan?
4. Darwinisme dan
Materialisme
Walau nyata-nyata
ditolak ilmu pengetahuan, teori Darwin masih dipertahankan. Satu-satunya alasan
untuk ini adalah hubungan erat antara teori ini dengan materialisme. Darwin
menerapkan filsafat materialis pada ilmu alam. Pendukung filsafat ini, terutama
penganut Marxisme, terus-menerus membela Darwinisme tidak peduli apa pun yang
terjadi.
Pembela teori evolusi
terkenal dewasa ini, ahli biologi Douglas Futuyma, menuliskan: "Bersamaan
de-ngan teori sejarah materialistis Marx... teori evolusi Darwin merupakan
penopang mekanisme dan materialisme." Inilah pengakuan yang sangat jelas
mengapa teori evolusi begitu penting bagi para pembelanya.1
Evolusionis terkenal lainnya, ahli
paleontologi Stephen J Gould mengatakan: "Darwin menerapkan filsafat
materialisme yang konsisten pada interpretasi-nya tentang alam".2 Leon
Trotsky, salah satu pencetus Revolusi Komunis Rusia bersama Lenin, berkomentar:
"Penemuan Darwin merupakan kemenangan terbesar konsep dialektika dalam
keseluruhan bidang materi organik."3 Namun, ilmu pengetahuan telah
menunjukkan bahwa Darwinisme bukan kemenangan bagi materialisme, melainkan
pertanda keruntuhan filsafat tersebut.
|
|
|
1.
Douglas Futuyma, Evolutionary
Biology, edisi ke-2. Sunderland, MA: Sinauer, 1986. hal. 3
2.
Alan Woods dan Ted Grant,
"Marxism and Darwinism", Reason in Revolt: Marxism and Modern
Science, London, 1993.
3.
Alan Woods dan Ted Grant.
"Marxism and Darwinism", London, 1993.
Memang, seperti yang
dikatakan Dithfurt, penyangkalan "campur tangan supranatural" dipilih
sebagai prinsip dasar pendekatan ilmiah materialis untuk menjelaskan kehidupan.
Begitu prinsip ini dipilih, kemungkinan paling mustahil pun dapat diterima.
Contoh-contoh mentalitas dogmatis ini dapat kita temui dalam semua literatur
evolusionis. Pendukung teori evolusi terkenal dari Turki, Profesor Ali
Demirsoy, hanyalah salah satu dari mereka. Seperti dijelaskan pada bagian
terdahulu, menurut Demirsoy: probabilitas pembentukan secara kebetulan
Sitokrom-C, protein penting untuk kelanjutan hidup, adalah "sama dengan
kemungkinan seekor monyet menulis sejarah manusia dengan mesin tik tanpa
membuat kesalahan sedikit pun".
Tidak diragukan lagi,
menyetujui kemungkinan semacam itu bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar
nalar dan akal sehat. Satu huruf saja di atas kertas sudah pasti ditulis
manusia, apalagi buku sejarah dunia. Tak ada orang waras yang akan setuju bahwa
huruf-huruf dalam buku tebal tersebut tersusun "secara kebetulan".
Akan tetapi, sangat
menarik untuk mengetahui bagaimana "ilmuwan evolusionis" seperti
Profesor Ali Dermisoy menerima pernyataan tidak masuk akal semacam ini:
FOKUS : Kematian
Materialisme
Materialisme abad ke-19
menyatakan bahwa keberadaan alam semesta tidak berawal dan tidak diciptakan,
dan dunia organik dapat dijelaskan sebagai interaksi antar materi. Inilah yang
men-jadi dasar pijakan teori evolusi. Namun, penemuan-penemuan ilmiah abad
ke-20 jelas-jelas menggugurkan hipotesis ini.
Anggapan bahwa
keberadaan alam semesta tidak berawal, telah dipupus habis oleh temuan bahwa
alam semesta dimulai dengan sebuah ledakan besar (peristiwa yang disebut
"Big Bang") yang terjadi sekitar 15 miliar tahun yang lalu. Teori ini
menunjukkan bahwa semua materi fisik di alam semesta muncul dari ketiadaan:
dengan kata lain, diciptakan. Salah seorang filsuf ateis pembela utama
materialisme, Anthony Flew, mengakui:
Banyak orang mengatakan
bahwa pengakuan itu baik bagi jiwa. Karenanya saya akan memulainya dengan
mengakui bahwa ateis Stratonisian dipermalukan oleh konsensus kosmologis jaman
sekarang (Big Bang). Tampaknya para ahli kosmologi telah memberikan suatu bukti
ilmiah… bahwa jagat raya memiliki permulaan.1
Teori Big Bang juga
menunjukkan bahwa pada masing-masing tahap, alam semesta terbentuk melalui
penciptaan yang terkendali. Ini jelas dibuktikan oleh keteraturan yang muncul
setelah Big Bang, yang terlalu sempurna jika terbentuk dari sebuah ledakan tak
terkendali. Seorang dokter terkenal, Paul Davies, menjelaskan keadaan ini:
Sulit menolak kesan
bahwa struktur alam semesta sekarang ini, yang tampaknya begitu sensitif
terhadap perubahan-perubahan kecil dalam angka, telah dipikirkan dengan
cermat…. Kesesuaian menakjubkan nilai-nilai numerik yang menjadi dasar
konstanta-konstanta di alam, tetap merupakan bukti kuat suatu desain kosmik.
Kenyataan yang sama
membuat profesor astronomi Amerika, George Greenstein, berkata:Setelah mengkaji
semua bukti, terus-menerus muncul pemikiran bahwa suatu kekuatan (atau
Kekuatan) supranatural pasti terlibat di dalamnya.3
Jadi, hipotesis
materialistis yang me-nyatakan bahwa kehidupan dapat di-jelaskan hanya dari
interaksi materi, juga gugur menghadapi temuan-temuan ilmu pengetahuan ini.
Khususnya, asal usul informasi genetis yang menentukan semua makhluk hidup,
sama sekali tidak dapat dijelaskan dengan kekuatan material murni. Fakta ini
diakui salah se-orang pembela teori evolusi terkemuka, George C. Williams,
dalam artikel yang ditulisnya pada tahun 1995:
Para ahli biologi
evolusionis tidak menyadari bahwa mereka bekerja dengan dua bidang yang tidak
dapat dibandingkan: bidang informasi dan bidang materi… gen adalah paket
informasi, bukan sebuah materi… Pemisah ini menjadikan materi dan informasi dua
bidang berbeda, dan karenanya harus dibahas secara terpisah dalam bidang
masing-masing.4
Situasi ini merupakan
bukti keberadaan Kebijakan Supramaterial yang menciptakan informasi genetis.
Tidak mungkin materi menghasilkan informasi di dalam dirinya. Direktur Institut
Fisika dan Teknologi Federal Jerman, Profesor Werner Gitt, mengatakan:
Seluruh pengalaman
menunjukkan bahwa diperlukan sebuah pemikiran yang bebas menjalankan kehendak,
kesadaran dan kreativitasnya sendiri. Tak mungkin ada hukum alam, proses atau
urutan kejadian yang menyebabkan informasi muncul dengan sendirinya di dalam
materi. 5
Seluruh fakta ilmiah
ini menjelaskan bahwa alam semesta beserta seluruh makhluk hidup diciptakan
oleh Sang Pencipta yang memiliki kekuatan dan pengetahuan, yakni Allah.
Sedangkan materialisme, seperti diungkapkan seorang filsuf terkenal abad ini,
Arthur Koestler: "Tidak dapat lagi dinyatakan sebagai filsafat
ilmiah".6
1.
Henry Margenau, Roy A. Vargesse.
Cosmos, Bios, Theos. La Salle IL: Open Court Publishing, 1992, hlm. 241.
2.
Paul Davies. God and the New
Physics. New York: Simon & Schuster, 1983, hlm. 189.
3.
Hugh Ross. The Creator and the
Cosmos. Colorado Springs, CO: Nav-Press, 1993, hlm. 114-115.
4.
George C. Williams. The Third
Culture: Beyond the Scientific Revolution, New York, Simon & Schuster,
1995, hlm. 42-43.
5.
Werner Gitt. In the Beginning Was
Information. CLV, Bielefeld, Germany, hlm. 107, 141.
6.
Arthur Koestler, Janus: A Summing
Up, New York, Vintage Books, 1978, hlm. 250.
Pada dasarnya,
kemungkinan pembentukan rangkaian sitokrom-C mendekati nol. Jadi, jika
kehidupan memerlukan sebuah rangkaian, dapat dikatakan bahwa probabilitasnya
kejadiannya hanya satu kali di seluruh alam semesta. Lebih dari itu, suatu kekuatan
metafisis di luar definisi kita pasti telah melakukan pembentukan tersebut.
Menerima pernyataan terakhir berarti tidak sesuai dengan tujuan ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu kita harus meng-ambil hipotesis pertama. 5
Selanjutnya Demirsoy
menyatakan bahwa ia menerima kemustahilan ini agar "tidak usah menerima
kekuatan-kekuatan metafisis", artinya agar tidak mengakui penciptaan oleh
Allah. Sangat jelas, pendekatan seperti ini tidak memiliki hubungan apa pun
dengan ilmu pengetahuan. Karenanya tidak mengherankan jika saat Demirsoy berbicara
mengenai asal usul mitokondria dalam sel, ia mengakui secara terbuka bahwa ia
menerima penjelasan konsep kebetulan ini meskipun sebenarnya "sangat
bertentangan dengan pemikiran ilmiah".
Inti permasalahannya
adalah bagaimana mitokondria mendapatkan sifat ini, karena untuk mendapatkannya
secara kebetulan, bahkan oleh satu individu pun, memerlukan probabilitas yang
sulit diterima akal…. Sebagai alat respirasi dan katalis pada setiap langkah
dalam bentuk berbeda, enzim ini membentuk inti dari mekanisme. Sebuah sel harus
mengandung rangkaian enzim ini secara lengkap. Jika tidak, sel tersebut tidak
akan berarti. Di sini, meskipun bertentangan dengan pemikiran biologis,
untuk menghindari penjelasan yang lebih dogmatis atau spekulasi, mau tidak mau
kita harus menerima bahwa semua enzim respirasi telah tersedia lengkap di
dalam sel sebelum sel pertama menggunakan oksigen.6
Dari pernyataan di atas
dapat disimpulkan bahwa evolusi sama sekali bukan teori yang dihasilkan melalui
penelitian ilmiah. Sebaliknya, bentuk dan substansi teori ini ditentukan oleh
kebutuhan-kebutuhan filsafat materialistis. Selanjutnya teori ini menjadi
kepercayaan atau dogma, walau-pun bertentangan dengan fakta-fakta ilmiah
konkret. Lagi-lagi kita dapat melihat dengan jelas dari literatur evolusionis
bahwa semua usaha ini benar-benar memiliki "tujuan". Tujuannya adalah
menghalangi setiap kepercayaan bahwa semua makhluk hidup diciptakan oleh Sang
Pencipta.
Oleh evolusionis tujuan ini didefinisikan
sebagai "ilmiah". Namun, rujukannya bukan ilmu pengetahuan melainkan
filsafat materialis. Materialisme secara mutlak menolak keberadaan apa pun
"di luar" materi (atau apa pun yang supranatural). Ilmu pengetahuan
sendiri tidak diharuskan menerima dogma semacam itu. Ilmu pengetahuan berarti
menyelidiki alam dan membuat kesimpulan-kesimpulan berdasarkan apa-apa yang
ditemukan. Jika penemuan-penemuan ini menyimpulkan bahwa alam ini diciptakan,
ilmu pengetahuan harus menerimanya. Demikianlah tugas seorang ilmuwan sejati;
dan bukan mempertahankan skenario mustahil dengan berpegang teguh pada
dogma-dogma materialis kuno abad ke-19.
Materialis,
Agama Palsu dan Agama Sejati
Sejauh ini, kita telah
membahas bagaimana kelompok yang setia kepada filsafat materialis mengacaukan
ilmu pengetahuan, menipu orang un-tuk kepentingan dongeng evolusionis yang
mereka yakini secara buta, dan bagaimana mereka menutupi kenyataan. Namun di
samping itu, kita juga harus mengakui bahwa kelompok materialis ini memberikan
"layanan" berarti, walaupun tanpa disengaja.
Mereka melakukan
"layanan" ini dalam usaha membenarkan pemikiran-pemikiran mereka yang
menyimpang dan ateis, dengan cara memaparkan semua kejanggalan dan
ketidakkonsistenan tradisionalis dan pemikiran fanatik yang mengatasnamakan
Islam. Serangan-serangan kelompok ateis-materialis membantu mengungkap agama
palsu yang tidak memiliki hubungan apa pun dengan Al Quran atau Islam. Agama
palsu ini biasanya berdasarkan pada kabar angin, takhayul, dan omong kosong,
dan tidak memiliki argumen konsisten untuk dikemukakan. Agama palsu ini dibela
oleh kelompok-kelompok yang tidak memiliki kesungguhan dalam keyakinannya dan
dengan seenaknya bertindak atas nama Islam tanpa bukti-bukti yang benar. Berkat
kelompok ateis-materialis, ketidakkonsistenan, penyimpangan dan ketidaklogisan
agama palsu terungkap.
Jadi, materialis
membantu masyarakat menyadari kesuraman mentalitas tradisional fanatik, dan
mendorong mereka mencari inti dan sumber agama sesungguhnya dengan merujuk dan
mematuhi Al Quran. Tanpa sengaja, mereka mematuhi perintah Allah dan menegakkan
agama-Nya. Lebih jauh lagi, mereka menyingkapkan semua kekerdilan mentalitas
yang mendirikan agama palsu atas nama Allah dan menawarkannya sebagai Islam
kepada semua orang. Mereka juga membantu melemahkan gerakan sistem fanatik yang
mengancam masyarakat luas.
Jadi mau tak mau dan
sesuai dengan takdir, mereka menjadi alat untuk mewujudkan firman Allah bahwa
Dia menegakkan agama sejati-Nya melalui pertentangan orang-orang yang
mengatasnamakan agama. Hukum Allah ini dinyatakan dalam Quran sebagai berikut:
Dan seandainya Allah
tidak menolak sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi
ini. Tetapi Allah mempunyai karunia atas semesta alam. (QS. Al Baqarah, 2: 251)
Sampai di sini, kita
perlu membuka pintu bagi sebagian pendukung pemikiran materialis evolusionis.
Orang-orang ini mungkin pernah memulai pencarian yang jujur, namun terseret
jauh dari agama sejati karena pengaruh omong kosong yang dibuat dengan
mengatasnamakan Islam, kebohongan yang dibuat dengan mengatasnamakan Rasulullah
saw, dan dongeng-dongeng yang mereka dengar sejak masa kanak-kanak, sehingga
mereka tidak pernah berkesempatan menemukan kebenaran. Mungkin mereka pernah
mempelajari agama dari buku-buku yang ditulis oleh para lawan agama, yang
mencoba menggambarkan Islam dengan kebohongan dan kekeliruan yang tidak ada
dalam Al Quran, disertai tradisionalisme atau fanatisme. Inti dan asal usul
Islam sama sekali berbeda dengan apa yang telah diajarkan kepada mereka.
Berdasarkan alasan ini, kami meng-anjurkan mereka segera mengambil Al Quran dan
membaca kitab Allah ini dengan hati terbuka dan pandangan cermat, tanpa
prasangka, dan mempelajari agama asli dari sumber yang benar. Jika membutuhkan bantuan,
mereka dapat merujuk kepada buku-buku yang ditulis pengarang buku ini, Harun
Yahya, mengenai konsep-konsep dasar dalam Quran.
FILSAFAT
Kata falsafah
atau filsafat dalam bahasa
Indonesia merupakan kata serapan
dari bahasa Arab
فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani;
Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk
dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia
= "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang
“pencinta kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa
Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip
dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah
disebut "filsuf".
Definisi kata
filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak
bisa dikatakan bahwa "filsafat" adalah studi yang mempelajari seluruh
fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis.[1]
ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan
percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari
solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi
tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik.
Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog.
Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Logika
merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika
dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi
tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi,
keraguan, dan couriousity 'ketertarikan'. Filsafat juga bisa berarti
perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak
tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sedikit sikap skeptis yang
mempertanyakan segala hal.
0 komentar:
Posting Komentar