Rumahku surgaku." Indah nian harapan yang disiratkannya. Harapan,
karena banyak juga ungkapan lain yang bernada pesimis, bahkan putus asa. Dimana
salahnya bila ada orang bersungut menggerutui nasib: "Gagasan tumbuh di
jalan, berkembang di kantor dan mati di rumah,"
desahnya.
Sebagai ungkapan sambil lalu, tentu saja banyak hal mengundangnya. Kalimat
ringkih itu boleh jadi lahir dari kegagalan menata rumah tangga dan karir.
Mungkin dari pengalaman pahit dan realita yang dialami oleh mereka yang sangat
alim dan sukses dalam suatu bidang, tetapi mendapat
cobaan internal, keluarga yang ‘telmi‘ atau ‘tilulit‘. Untuk
hal terakhir ini ada ungkapan, "Orang yang paling zuhud terhadap ulama
adalah keluarga dan tetangganya."
Tetapi bagi sebahagian yang lain justeru "rumah adalah mata air
gagasan yang tak pernah kering". Hanya sedikit keluarga yang dapat
memposisikan seorang anggota keluarga mereka sebagai imam, ulama, profesional,
tokoh atau pemimpin masyarakat di suatu saat dan
kapan mereka memperlakukannya sebagai ayah, ibu, anak atau saudara.
Itulah sebabnya kita mendengar ungkapan para isteri Kanjeng Nabi SAW
memanggilnya dengan sebutan Rasulullah. Sesekali saja ungkapan terkait dengan
peran kekeluargaan. "Sungguh aku hafal benar kebiasaanmu hai Aisyah. Bila
engkau sedang gembira, engkau sebut, ‘Demi Tuhan Muhammad ; dan bila engkau
sedang marah engkau sebut, "Demi Tuhan Ibrahim,"’ begitu kata Rasulullah.
Mereka yang kurang
beruntung, boleh melantunkan senandung duka bersama Abu’l ala’ Alma-’arri,
penyair skeptis satiris itu:
Orang-orang
mulia
perantau di negeri mereka
diasingkan dan dijauhi kerabat keluarga
A. Ainal
Khalal? Dimana Celah Salahnya?
Dimana celah salahnya? Ketika seseorang tak lagi
merasakan nyaman melakoni perannya, di situ soal bermula. Alangkah malang
perempuan yang kaumnya telah melimpahkan kontribusi besar bagi peradaban,
dengan melahirkan dan membesarkan ikon-ikon maksiat di
berbagai bidang kehidupan, lalu menggerutu tak pernah kebagian peran. Hari-hari
ini (sebagian) mereka menggerutu dizalimi oleh sistem langit, tanpa mampu
membuktikan, betulkah kezaliman lahir dari tradisi ataukah dari sistem
pesan-pesan yang diturunkanNya, atau mungkin saja lahir dari kecenderungan
negatif yang diperturutkan?
Mereka gagal menyeret Aminah ibunda Rasulullah,
Fathimah ibunda Hasan dan Husain, ibu-ibu Imam Malik, Imam Syafiie, Sayyid
Quthb, Al-Banna dan ibu Socrates untuk bersama-sama memberi kesaksian bahwa
agama menjadi biang keladi kezaliman. Akhirnya mereka menuduh tafsir-tafsir itu
telah bias. Ini tuduhan khas dari kalangan yang belum berani menuduh Al-Qur’an
sebagai produk budaya. Yang paling berani akan langsung menuduh Al-Qur’an dan
Assunnah, tanpa keberanian mendeklarasikan diri keluar dari Islam.
Kesempatan telah diberikan dan perempuan-perempuan pengukir sejarah telah
mengambil peran mereka dengan baik, tanpa mendengki atau didengki
laki-laki.
Khaulah memang kecewa oleh kelakuan suaminya.
Hindun juga sempit hati karena belanja yang diberikan suaminya kurang selalu,
padahal kekayaannya melimpah. Tetapi mereka tidak mempolarisasikan kekecewaan
menjadi kutub perseteruan terhadap laki-laki, bahkan sampai tingkat rekayasa besar
untuk menjadikan laki-laki (harus) bisa hamil.
Sejarah tak mungkin lupa, bagaimana mula pertama
kanjeng Nabi Muhammad SAW menyampaikan pesan-pesan Islam,
pendukung pertama datang dari kalangan perempuan dan budak-budak. Selain
Khadijah, Fathimah, Aisyah dan Asma, yang menemukan pembenaran samawi
atas keagungan peri lakunya yang fitri, para budak, kaum miskin dan kelompok
tak berbangsa, menemukan nilai-nilai kemerdekaan dan kehormatan disana.
Al-Qur’an telah mengabadikan perlakuan terbaik Islam
kepada perempuan ketika complainnya didengar dan hukum berpihak
kepadanya. Hanya lelaki dungu yang mau melecehkan mereka dan hanya perempuan
(dan laki-laki) pandir yang percaya bahwa risalah langit ini berpihak kepada
laki-laki saja.
Dengarlah suara Khaulah, "Ya Rasul Allah, ia
telah makan hartaku, habiskan kemudaanku dan kutaburkan untuknya (anak-anak)
dari perutku, tetapi ketika menua usiaku dan berpencaran anak-anakku, tiba-tiba
ia menziharku." Dan turunlah ayat membelanya pada surat Al-Mujadilah.
(Qs.58)
Betapa keras komentar
Rasul tentang perilaku kekerasan dalam keluarga,
"Lelaki macam apa yang tak tahu malu, memukul isterinya di pagi hari lalu
menggaulinya di petang hari."
B. Kembali ke Jatidiri
Sesudah jaminan yang
tak menyisakan dusta ini apa lagi yang diragukan? "Sebaik-baik zaman,
ialah zamanku, kemudian yang sesudahnya,
kemudian yang sesudahnya." (HR. Bukhari, Muslim). Ya, zaman baik bagi
pemikiran yang waras, bagi pertumbuhan generasi, bagi kehidupan berumah tangga
dan bermasyarakat.
Anak-anak berbakti kepada ibu-bapaknya. Yang tua
menyayangi yang muda dan yang muda menghormati yang tua. Ini hal yang tak
menyenangkan bagi penganut wacana konflik dalam novel, nuansa darah dalam
politik, nuansa hedonik dalam selera, atau nuasa erotik dalam
seni.
Ketika pasangan-pasangan di
usia produktif, hal utama yang mengemuka adalah tuntutan yang besar pada
masing-masing pribadi terhadap pasangannya, ajaran kearifan yang dibimbing
Rasulullah bagi ummatnya, adalah bagaimana selalu pada posisi memberi.
C. Tantangan
Masa Depan
Ada kecenderungan di akhir zaman, di antara
agen-agen pemikiran seberang. Selalu membandingkan kegagalan aplikasi sistem Islam sebagai kelemahan sistem dan mengabaikan kelemahan
faktor manusia pelaksana. Inilah sikap fenomenologis yang kerap tak malu-malu
menjadikan nilai-nilai abadi sebagai tertuduh. Kedepan ada pertanyaan besar
yang menantang untuk dijawab. Mampukah tradisi, karakter dan moralitas umat
yang dibangun di atas manhaj yang kokoh ini menjawab
tantangan masa depan? Ketika bangsa ini meratifikasi komitmen HAM dengan
catatan ia harus berlandaskan nilai-nilai ketuhanan dan keagamaan, mereka tetap
saja menjadikannya sebagai harga mati, untuk apapun tujuannya.
Sebuah iklan layanan mengajukan sejumlah
pernyataan atau perlawanan. "Siapa ingin diperkosa, silakan berpakaian
seperti ini." Para penari erotis dapat terus bekerja dengan penuh gairah
dengan naungan payung HAM. Ketika orang di seberang
sana merindukan kedamaian keluarga Islami, disini orang sedang
gandrung-gandrungnya meniru segala yang berbau sana. Kelambanan berfikir telah
mendorong mereka untuk sekadar mengagumi kulit-kulit keindahan. Target-target
pencapaian prestasi selalu berbau uang.
Maryarakat modem perlu becermin pada sikap Asiah
binti Muzahim, isteri Fir’aun. Ia telah menjadikan seluruh tuntutannya bersifat
ukhrawi, di tengah segala kemilau dunia yang melingkupinya. Ia menyindir pemuja
dunia yang yakin mampu membangun rumah tangga bahagia hanya melalui benda.
"Dan Allah telah memberikan perumpamaan bagi orang-orang yang beriman (pada)
peempuan Fira’un, ketika ia berkata, ‘ya Allah, bangunkanlah untukku sebuah
rumah di surga. Selamatkan daku dari Fir’aun dan
amalnya dan selamatkan daku dari kaum yang zalim."’ (QS. At-Tahrim: 11).
Namun selalu saja fatamorgana kehidupan datang
menipu. Kelezatan yang menyimpan ancaman, banyak tak disadari. Seperti kata
Rasul, "Perumpaan aku dan kamu, seperti seseorang yang menyalakan api.
Mulailah serangga dan kupu-kupu berjatuhan kesana, sedang orang itu menghalau
mereka dari api sementara aku memegangi pinggang-pinggang kamu, tetapi kamu
berlepasan dari tanganku”. Wallahu’alam
D. Calon Isteri Mensyaratkan Calon Suami
Punya Harta Dulu
Tanya :
Seorang perempuan yang diajak menikah mensyaratkan
agar calon suaminya memiliki harta dengan batasan tertentu, baru bisa menikah. Apakah
ini boleh dalam pandangan Islam? (Ujang, Bogor ).
Jawab :
Boleh
hukumnya seorang perempuan mensyaratkan agar calon suaminya mempunyai harta
dalam jumlah tertentu sebelum menikah. Namun disyaratkan jumlah hartanya masih dalam batas-batas kesanggupan calon
suami. Jika jumlah harta tersebut di luar kesanggupan calon suami, maka
persyaratan yang dibuat perempuan itu batal dan tidak berlaku.
Dalil bolehnya membuat persyaratan semacam itu antara lain sabda Nabi SAW :
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلا شَرْطًا حَرَّمَ حَلالا، وَأَحَلَّ حَرَامًا
“Kaum muslimin [bermuamalah]
sesuai syarat-syarat di antara mereka, kecuali syarat yang yang mengharamkan
yang halal dan menghalalkan yang haram.”
(HR
Abu Dawud no 3120; Ath-Thabrani no 13507).
Hadis ini menunjukkan bolehnya
kaum muslimin membuat syarat-syarat yang mereka tetapkan sendiri (disebut
syarat ja’liy) dalam berbagai muamalah mereka, misalnya dalam akad jual beli,
ijarah (sewa), syirkah, dan nikah. Namun syarat semacam ini dibatasi oleh
batasan syar’i-nya, yaitu tidak boleh menyalahi nash atau hukum syara’. Sebab
Nabi SAW bersabda :
كُلُّ شَرْطٍ خَالَفَ كِتَابَ اللَّهِ
فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ اشْتَرَطَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Setiap syarat yang menyalahi Kitabullah adalah
batil, meskipun ditetapkan seratus syarat.” (HR Bukhari no 2529; Ibnu Majah no 2512).
(Lihat pembahasan syarat ja’liy dan
syarat syar’iy [syarat taklif] dalam Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh
Al-Islami, 1/101; Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah
(Ushul Fiqih), 3/53; M. Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh,
h. 238).
Selain dalil umum di atas, terdapat pula dalil khusus yang membolehkan
membuat syarat sendiri dalam pernikahan. Sabda Nabi SAW :
إِنَّ أَحَقَّ الشَّرْطِ أَنْ يُوفَّى بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ
“Sesungguhnya syarat yang paling berhak untuk
dipenuhi, adalah apa-apa yang dengannya dapat menghalalkan farji bagimu
[nikah].” (HR
Abu Dawud no 1827; An-Nasa`i no 1056; Ahmad no 16664).
Jadi, boleh hukumnya perempuan
mensyaratkan calon suaminya mempunyai harta lebih dulu dalam jumlah tertentu,
misal harus mempunyai uang Rp 10 juta, atau mempunyai rumah, mobil, dan
sebagainya. Semua syarat ini
dibolehkan selama masih berada dalam batas-batas kesanggupan calon suami.
Namun jika syarat itu di luar kesanggupan calon suami, maka syarat itu
dianggap batal dan tidak berlaku, karena telah menyalahi nash syara’. Sebab
syara’ telah melarang memberikan beban kepada seseorang yang melampaui batas
kemampuannya. Allah SWT berfirman :
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya.”
(QS Al-Baqarah [2]:286).
Di samping itu, persyaratan yang di luar kesanggupan calon suami juga menyalahi
nash-nash syara’ yang menganjurkan agar nikah itu dipermudah atau diperingan.
Contohnya : (1) Pada saat menjumpai seorang sahabat yang tidak mempunyai harta
apa-apa untuk mahar pernikahannya, Nabi SAW bersabda :
الْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ
“Carilah
walau hanya sebentuk cincin dari besi.” (HR Bukhari no 4740; An-Nasa`i no
3306; Ahmad 21783).
(2) Mengenai mahar yang menjadi hak perempuan dan
kewajiban laki-laki, Nabi SAW bersabda :
خُيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرُهُ
“Sebaik-baik mahar, adalah
mahar yang paling ringan [bagi laki-laki].” (HR Al-Hakim, Al-Mustadrak
no 2692; Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, 3/152)..
Kesimpulannya, boleh hukumnya
perempuan mensyaratkan calon suaminya mempunyai harta lebih dulu dalam jumlah
tertentu, selama masih berada dalam batas-batas kesanggupan calon suami. Jika
di luar kesanggupan calon suami, syarat itu batal dan tidak boleh diberlakukan,
karena telah menyalahi nash syara’. Wallahu a’lam
E.
Menjadi Sahabat
yang Menyenangkan
Baiti
Janati. Secara fitrah, menikah akan memberikan ketenangan (ithmi’nân/thuma’nînah)
bagi setiap manusia, asalkan pernikahannya dilakukan sesuai dengan aturan Allah
Swt., Zat Yang mencurahkan cinta dan kasih-sayang kepada manusia.
Hampir setiap
Mukmin mempunyai harapan yang sama tentang keluarganya, yaitu ingin bahagia; sakînah
mawaddah warahmah. Namun, sebagian orang menganggap bahwa menciptakan
keluarga yang sakinah mawaddah warahmah serta langgeng adalah hal yang
tidak gampang. Fakta-fakta buruk kehidupan rumahtangga yang terjadi di
masyarakat seolah makin mengokohkan asumsi sulitnya menjalani kehidupan
rumahtangga. Bahkan, tidak jarang,
sebagian orang menjadi enggan menikah atau menunda-nunda pernikahannya.
F. Menikahlah, Karena Itu Ibadah
Sesungguhnya menikah itu bukanlah sesuatu yang
menakutkan, hanya memerlukan perhitungan cermat dan persiapan matang saja, agar
tidak menimbulkan penyesalan. Sebagai risalah yang syâmil (menyeluruh)
dan kâmil (sempurna), Islam telah memberikan tuntunan tentang
tujuan pernikahan yang harus dipahami oleh kaum Muslim. Tujuannya adalah agar
pernikahan itu berkah dan bernilai ibadah serta benar-benar memberikan ketenangan
bagi suami-istri. Dengan itu akan terwujud keluarga yang bahagia dan langgeng.
Hal ini bisa diraih jika pernikahan itu dibangun atas dasar pemahaman Islam
yang benar.
Menikah hendaknya diniatkan untuk mengikuti sunnah
Rasullullah saw., melanjutkan keturunan, dan menjaga kehormatan. Menikah juga
hendaknya ditujukan sebagai sarana dakwah, meneguhkan iman, dan menjaga
kehormatan. Pernikahan merupakan sarana dakwah suami terhadap istri atau
sebaliknya, juga dakwah terhadap keluarga keduanya, karena pernikahan berarti
pula mempertautkan hubungan dua keluarga. Dengan begitu, jaringan persaudaraan
dan kekerabatan pun semakin luas. Ini berarti, sarana dakwah juga bertambah.
Pada skala yang lebih luas, pernikahan islami yang sukses tentu akan menjadi
pilar penopang dan pengokoh perjuangan dakwah Islam, sekaligus tempat
bersemainya kader-kader perjuangan dakwah masa depan.
Inilah tujuan pernikahan yang seharusnya menjadi
pijakan setiap Muslim saat akan menikah. Karena itu, siapa pun yang akan
menikah hendaknya betul-betul mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk
meraih tujuan pernikahan seperti yang telah digariskan Islam.
Setidaknya, setiap Muslim, laki-laki dan
perempuan, harus memahami konsep-konsep pernikahan islami seperti: aturan Islam
tentang posisi dan peran suami dan istri dalam keluarga, hak dan kewajiban
suami-istri, serta kewajiban orangtua dan hak-hak anak; hukum seputar
kehamilan, nasab, penyusuan, pengasuhan anak, serta pendidikan anak dalam
Islam; ketentuan Islam tentang peran Muslimah sebagai istri, ibu, dan manajer
rumahtangga, juga perannya sebagai bagian dari umat Islam secara keseluruhan,
serta bagaimana jika kewajiban-kewajiban itu berbenturan pada saat yang sama;
hukum seputar nafkah, waris, talak (cerai), rujuk, gugat cerai, hubungan dengan
orangtua dan mertua, dan sebagainya. Semua itu membutuhkan penguasaan
hukum-hukum Islam secara menyeluruh oleh pasangan yang akan menikah. Artinya,
menikah itu harus didasarkan pada ilmu.
G. Jadilah Sahabat yang Menyenangkan
Pernikahan pada dasarnya merupakan akad antara
laki-laki dan perempuan untuk membangun rumahtangga sebagai suami-istri sesuai
dengan ketentuan syariat Islam. Sesungguhnya kehidupan rumahtangga dalam Islam
adalah kehidupan persahabatan. Suami adalah sahabat karib bagi istrinya, begitu
pula sebaliknya. Keduanya benar-benar seperti dua sahabat karib yang siap
berbagi suka dan duka bersama dalam menjalani kehidupan pernikahan mereka demi
meraih tujuan yang diridhai Allah Swt. Istri bukanlah sekadar patner kerja bagi
suami, apalagi bawahan atau pegawai yang bekerja pada suami. Istri adalah
sahabat, belahan jiwa, dan tempat curahan hati suaminya.
Islam telah menjadikan istri sebagai tempat yang penuh ketenteraman bagi
suaminya. Allah Swt. berfirman:
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ
أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri supaya kalian
cenderung dan merasa tenteram kepadanya. (QS ar-Rum [30]: 21).
Maka dari itu, sudah selayaknya suami akan merasa
tenteram dan damai jika ada di sisi istrinya, demikian pula sebaliknya. Suami
akan selalu cenderung dan ingin berdekatan dengan istrinya. Di sisi istrinya,
suami akan selalu mendapat semangat baru untuk terus menapaki jalan dakwah,
demikian pula sebaliknya. Keduanya akan saling tertarik dan cenderung kepada
pasangannya, bukan saling menjauh.
Keduanya akan saling menasihati, bukan mencela;
saling menguatkan, bukan melemahkan; saling membantu, bukan bersaing. Keduanya
pun selalu siap berproses bersama meningkatkan kualitas ketakwaannya demi
meraih kemulian di sisi-Nya. Mereka berdua berharap, Allah Swt. berkenan
mengumpulkan keduanya di surga kelak. Ini berarti, tabiat asli kehidupan rumahtangga
dalam Islam adalah ithmi’nân/tuma’ninah (ketenangan dan ketentraman).
Walhasil, kehidupan pernikahan yang ideal adalah terjalinnya kehidupan
persahabatan antara suami dan istri yang mampu memberikan ketenangan dan
ketenteraman bagi keduanya.
Untuk menjamin teraihnya ketengan dan ketenteraman
tersebut, Islam telah menetapkan serangkaian aturan tentang hak dan kewajiban
suami-istri. Jika seluruh hak dan kewajiban itu dijalankan secara benar,
terwujudnya keluarga yang sakinah mawaddah warahmah adalah suatu
keniscayaan.
H. Bersabar atas Kekurangan Pasangan
Kerap terjadi, kenyataan hidup tidak seindah
harapan. Begitu pula dengan kehidupan rumahtangga, tidak selamanya berlangsung
tenang. Adakalanya kehidupan suami-istri itu dihadapkan pada berbagai problem baik
kecil ataupun besar, yang bisa mengusik ketenangan keluarga. Penyebabnya sangat
beragam; bisa karena kurangnya komunikasi antara suami-istri, suami kurang
makruf terhadap istri, atau suami kurang perhatian kepada istri dan anak-anak;
istri yang kurang pandai dan kurang kreatif menjalankan fungsinya sebagai
istri, ibu, dan manajer rumahtangga; karena adanya kesalahpahaman dengan
mertua; atau suami yang ‘kurang serius’ atau ‘kurang ulet’ mencari nafkah.
Penyebab lainnya adalah karena tingkat pemahaman agama yang tidak seimbang
antara suami-istri; tidak jarang pula karena dipicu oleh suami atau istri yang
selingkuh, dan lain-lain.
Sesungguhnya Islam tidak menafikan adanya
kemungkinan terusiknya ketenteraman dalam kehidupan rumahtangga. Sebab, secara
alami, setiap manusia yang hidup di dunia ini pasti dihadapkan pada berbagai
persoalan. Hanya saja, seorang Muslim yang kokoh imannya akan senantiasa yakin
bahwa Islam pasti mampu memecahkan semua problem kehidupannya. Oleh karena itu,
dia akan senantiasa siap menghadapi problem tersebut, dengan menyempurnakan
ikhtiar untuk mencari solusinya dari Islam, seiring dengan doa-doanya kepada
Allah Swt. Sembari berharap, Allah memudahkan penyelesaian segala urusannya.
Keluarga yang sakinah mawaddah warahmah
bukan berarti tidak pernah menghadapi masalah. Yang dimaksud adalah keluarga
yang dibangun atas landasan Islam, dengan suami-istri sama-sama menyadari bahwa
mereka menikah adalah untuk ibadah dan untuk menjadi pilar yang mengokohkan
perjuangan Islam. Mereka siap menghadapi masalah apapun yang menimpa
rumahtangga mereka. Sebab, mereka tahu jalan keluar apa yang harus ditempuh
dengan bimbingan Islam.
Islam telah mengajarkan bahwa manusia bukanlah
malaikat yang selalu taat kepada Allah, tidak pula ma‘shûm
(terpelihara dari berbuat maksiat) seperti halnya para nabi dan para rasul.
Manusia adalah hamba Allah yang memiliki peluang untuk melakukan kesalahan dan
menjadi tempat berkumpulnya banyak kekurangan. Pasangan kita (suami atau istri)
pun demikian, memiliki banyak kekurangan. Karena itu, kadangkala apa yang
dilakukan dan ditampakkan oleh pasangan kita tidak seperti gambaran ideal yang
kita harapkan. Dalam kondisi demikian, maka sikap yang harus diambil adalah
bersabar!
Sabar adalah salah satu penampakan akhlak yang
mulia, yaitu wujud ketaatan hamba terhadap perintah dan larangan Allah Swt.
Sabar adalah bagian hukum syariat yang diperintahkan oleh Islam. (Lihat: QS
al-Baqarah [2]: 153; QS az-Zumar [39]: 10).
Makna kesabaran yang dimaksudkan adalah kesabaran
seorang Mukmin dalam rangka ketaatan kepada Allah; dalam menjalankan seluruh
perintah-Nya; dalam upaya menjauhi seluruh larangan-Nya; serta dalam menghadapi
ujian dan cobaan, termasuk pula saat kita dihadapkan pada ‘kekurangan’ pasangan
(suami atau istri) kita.
Namun demikian, kesabaran dalam menghadapi
‘kekurangan’ pasangan kita harus dicermati dulu faktanya. Pertama:
Jika kekurangan itu berkaitan dengan kemaksiatan yang
mengindikasikan adanya pelalaian terhadap kewajiban atau justru melanggar
larangan Allah Swt. Dalam hal ini, wujud kesabaran kita adalah dengan
menasihatinya secara makruf serta mengingatkannya untuk tidak melalaikan
kewajibannya dan agar segera meninggalkan larangan-Nya. Contoh pada suami:
suami tidak berlaku makruf kepada istrinya, tidak menghargai istrinya, bukannya
memuji tetapi justru suka mencela, tidak menafkahi istri dan anak-anaknya,
enggan melaksanakan shalat fardhu, enggan menuntut ilmu, atau malas-malasan
dalam berdakwah. Contoh pada istri: istri tidak taat pada suami, melalaikan
pengasuhan anaknya, melalaikan tugasnya sebagai manajer rumahtangga (rabb
al-bayt), sibuk berkarier, atau mengabaikan upaya menuntut ilmu dan
aktivitas amar makruf nahi mungkar. Sabar dalam hal ini tidak cukup dengan
berdiam diri saja atau nrimo dengan apa yang dilakukan oleh pasangan
kita, tetapi harus ada upaya maksimal menasihatinya dan mendakwahinya. Satu hal
yang tidak boleh dilupakan, kita senantiasa mendoakan pasangan kita kepada
Allah Swt.
Kedua: Jika
kekurangan itu berkaitan dengan hal-hal yang mubah maka hendaknya
dikomunikasikan secara makruf di antara suami-istri. Contoh: suami tidak
terlalu romantis bahkan cenderung cuwek; miskin akan pujian terhadap
istri, padahal sang istri mengharapkan itu; istri kurang pandai menata rumah,
walaupun sudah berusaha maksimal tetapi tetap saja kurang estetikanya,
sementara sang suami adalah orang yang apik dan rapi; istri kurang bisa memasak
walaupun dia sudah berupaya maksimal menghasilkan yang terbaik; suami “cara
bicaranya” kurang lembut dan cenderung bernada instruksi sehingga kerap
menyinggung perasaan istri; istri tidak bisa berdandan untuk suami, model
rambutnya kurang bagus, hasil cucian dan setrikaannya kurang rapi; dan
sebagainya. Dalam hal ini kita dituntut bersabar untuk mengkomunikasikannya,
memberikan masukan, serta mencari jalan keluar bersama pasangan kita. Jika
upaya sudah maksimal tetapi belum juga ada perubahan, maka terimalah itu dengan
lapang dada seraya terus mendoakannya kepada Allah Swt. (Lihat: QS an-Nisa’
[4]: 19). Rasulullah saw. bersabda:
Janganlah seorang suami membenci istrinya. Jika
dia tidak menyukai satu perangainya maka dia akan menyenangi perangainya yang
lain. (HR
Muslim).
Inilah tuntunan Islam yang harus dipahami oleh setiap Mukmin yang ingin
rumahtangganya diliputi dengan kebahagiaan, cinta kasih, ketenteraman, dan
langgeng. Wallâhu a‘lam bi ash-shawab. (Nurul Husna, Aktivis
Hizbut Tahrir, Ibu Rumah Tangga)
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya.
Departemen Agama RI. CV Diponegoro. Bandung . 2000
Amiruddin, Aam. Tafsir Al-Qur’an
Kontemporer. PercikPress. Bandung.2004
Anatomy of A Weblog, Camworld Journal, 26 Januari 1999
Benson, Nigel dan Simon Grove. Psikologi For Beginners.
Penerbit Mizan. Bandung .
2001
Blood, Rebecca. Weblogs: A History and Perspective, Rebecca’s
Pocket. 07 September 2000.
Hall, Calvin dan Gardner Lindzey. Teori-Teori Sifat dan Behavioristik.
Penerbit
Kanisius. Jakarta .
2001
0 komentar:
Posting Komentar