Jumat, 14 Desember 2018

KLIPING : KORUPSI DI INDONESIA

Tommy Suharto Dinyatakan Sebagai Terdakwa
Kasus Korupsi 19 Juta Dolar





Putra mantan presiden Indonesia, Tommy Suharto, telah dinyatakan sebagai terdakwa dalam kasus korupsi sebesar 19 juta dolar, menyangkut monopoli perdagangan cengkeh. Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan, Kejaksaan Agung telah membuka kembali kasus dakwaan korupsi terhadap Tommy Suharto.
Langkah ini diambil setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat Jaksa Agung baru dan mengganti Menteri Kehakiman dalam perombakan kabinet yang bertujuan menggalakkan upaya memberantas korupsi. Tahun 1990an, Tommy Suharto memimpin badan yang bertugas meregulasi perdagangan cengkeh. Pemerintah memberikan kredit lunak untuk badan itu, untuk membeli cengkeh langsung dari petani.
Menurut Hendarman Supandji, Tommy didapati menyalahgunakan dana pembelian cengkeh itu. Pekan lalu, jaksa mengajukan gugatan perdata terhadap Suharto, dalam upaya memperoleh kembali dana ratusan juta dolar yang konon diselewengkan yayasan-yayasan derma yang didirikan Suharto.


SUHARTO TERSANGKA PENYALAHAN
PENGGUNAAN UANG NEGARA

 

 Kasus dugaan korupsi Soeharto menyangkut penggunaan uang negara oleh 7 buah yayasan yang diketuainya, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.

Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999

Uang negara 400 miliar mengalir ke Yayasan Dana Mandiri antara tahun 1996 dan 1998. Asalnya dari pos Dana Reboisasi Departemen Kehutanan dan pos bantuan presiden. Dalam berkas kasus Soeharto, terungkap bahwa Haryono Suyono, yang saat itu Menteri Negara Kependudukan dan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, mengalihkan dana itu untuk yayasan. Ketika itu, dia masih menjadi wakil ketua di Dana Mandiri. Bambang Trihatmodjo, yang menjadi bendahara yayasan ini, bersama Haryono, ternyata mengalirkan lagi dana Rp 400 miliar yang telah masuk ke yayasan itu ke dua bank miliknya, Bank Alfa dan Bank Andromeda, pada 1996-1997, dalam bentuk deposito.

Dari data dalam berkas Soeharto, Bob Hasan paling besar merugikan keuangan negara, diduga mencapai Rp 3,3 triliun. Hal ini juga terungkap dari pengakuan Ali Affandi, Sekretaris Yayasan Supersemar, ketika diperiksa sebagai saksi kasus Soeharto. Dia membeberkan, Yayasan Supersemar, Dakab, dan Dharmais memiliki saham di 27 perusahaan Grup Nusamba milik Bob Hasan. Sebagian saham itu masih atas nama Bob Hasan pribadi, bukan yayasan.

Hutomo Mandala Putra bersama bersama Tinton Suprapto, putra bungsu Soeharto, pernah memanfaatkan nama Yayasan Supersemar untuk mendapatkan lahan 144 hektare di Citeureup, Bogor, guna pembangunan Sirkuit Sentul. Sebelumnya, Tommy dan Tinton berusaha menguasai tanah itu lewat Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tapi gagal.



SUDJIONO TIMAN

Sudjiono Timan (lahir di Jakarta pada 9 Mei 1959) adalah seorang pengusaha asal Indonesia. Dari tahun 1995 hingga 1997 ia menjabat sebagai Direktur Utama PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Ia saat ini merupakan seorang buronan karena melarikan diri dari hukuman pengadilan. Oleh pengadilan, Timan telah diputuskan bersalah karena telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai direktur utama BPUI dengan cara memberikan pinjaman kepada Festival Company Inc. sebesar 67 juta dolar AS, Penta Investment Ltd sebesar 19 juta dolar AS, KAFL sebesar 34 juta dolar AS, dan dana pinjaman Pemerintah (RDI) Rp 98,7 miliar sehingga negara mengalami kerugian keuangan sekitar 120 juta dolar AS dan Rp 98,7 miliar.

Pada pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Timan dibebaskan dari tuntutan hukum karena perbuatannya dinilai bukan tindak pidana. Menanggapi vonis bebas itu, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi dan meminta Majelis Kasasi menjatuhkan pidana sebagaimana tuntutan terhadap terdakwa yaitu pidana delapan tahun penjara, denda Rp30 juta subsider enam bulan kurungan, serta membayar uang pengganti Rp1 triliun.

Pada Jumat, 3 Desember 2004, Majelis Kasasi Mahkamah Agung (MA) yang dipimpin oleh Ketua MA Bagir Manan memvonis Sudjiono Timan dengan hukuman 15 tahun penjara, denda Rp50 juta, dan membayar uang pengganti sebesar Rp 369 miliar.
Namun, saat Kejaksaan hendak mengeksekusi Sudjiono Timan pada Selasa, 7 Desember 2004, yang bersangkutan sudah tidak ditemukan pada dua alamat yang dituju rumah di Jalan Prapanca No. 3/P.1, Jakarta Selatan maupun rumah di Jalan Diponegoro No. 46, Jakarta Pusat dan dinyatakan buron dengan status telah dicekal ke luar negeri oleh Departemen Hukum dan HAM.

Pada 17 Oktober 2006, Kejaksaan Agung Republik Indonesia mulai menyebarkan foto dan datanya ke masyarakat melalui televisi dan media massa sebagai salah satu 14 koruptor buron yang sedang dicari.


AULIA POHAN TERSANGKA KASUS ALIRAN
DANA BI KE DPR


Aulia Pohan memang sebenarnya telah banyak disebut-sebut orang yang ikut terlibat dalam kasus mengalirnya dana BI ke beberapa anggota DPR, termasuk kasus-kasus korupsi sebelumnya dimana Miranda Gultom masih menjabat sebagai
Deputi Gubernur Senior BI. Amin Rais sendiri telah menyarankan agar Aulia Pohan segera ditangkap termasuk beberapa direksi BI.

Kasus aliran dana BI telah menjerat lima orang, yaitu mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, mantan Deputi Direktur Hukum BI Oey Hoy Tiong, mantan Kepala Biro Gubernur BI Rusli Simandjuntak, mantan anggota DPR Antony Zeidra Abidin, dan anggota DPR Hamka Yandhu.

Berdasar laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kasus dana BI bermula ketika rapat Dewan Gubernur BI yang dipimpin Burhanuddin Abdullah mengeluarkan persetujuan untuk mencairkan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp100 miliar. Oey diduga menyerahkan dana YPPI sebesar Rp68,5 miliar kepada pejabat BI yang saat itu terjerat kasus hukum dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yaitu mantan Gubernur BI Soedrajad Djiwandono, mantan Deputi Gubernur BI Iwan R Prawiranata, dan tiga mantan Direksi BI, yaitu Heru Supraptomo, Hendro Budianto, dan Paul Sutopo.

Pada pemeriksaan di KPK, Oey mengaku menyerahkan uang tersebut kepada para
mantan pejabat BI. Namun, Oey mengaku tidak tahu lagi kemana uang tersebut
setelah diserahkan kepada mereka. Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia/BLBI diperkirakan telah menghilangkan
dana sebesar lebih dari Rp600 triliun yang hanya dinikmati dinikmati segelintir
orang (Antara news 30/9)

Sedangkan uang senilai Rp31,5 miliar diduga diberikan oleh Rusli Simandjuntak
dan Asnar Ashari kepada panitia perbankan Komisi IX DPR periode 2003 untuk
penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan amandemen UU No 23 Tahun 1999 tentang BI.



  
HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young


Kasus HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young pada 31 Juli 2000 tentang penggunaan dana reboisasi mengungkapkan ada 51 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 15,025 triliun (versi Masyarakat Transparansi Indonesia). Yang terlibat dalam kasus tersebut, antara lain, Bob Hasan, Prajogo Pangestu, sejumlah pejabat Departemen Kehutanan, dan Tommy Soeharto.
Bob Hasan telah divonis enam tahun penjara. Bob dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi proyek pemetaan hutan senilai Rp 2,4 triliun. Direktur Utama PT Mapindo Pratama itu juga diharuskan membayar ganti rugi US$ 243 juta kepada negara dan denda Rp 15 juta. Kini Bob dikerangkeng di LP Nusakambangan, Jawa Tengah.
Prajogo Pangestu diseret sebagai tersangka kasus korupsi dana reboisasi proyek hutan tanaman industri (HTI) PT Musi Hutan Persada, yang diduga merugikan negara Rp 331 miliar. Dalam pemeriksaan, Prajogo, yang dikenal dekat dengan bekas presiden Soeharto, membantah keras tuduhan korupsi. Sampai sekarang nasib kasus taipan kakap ini tak jelas kelanjutannya.


MUHAMMAD AL AMIN NASUTION
KASUS PENGALIHAN HUTAN LINDUNG DI RIAU

 

Jakarta- Terdakwa tiga kasus korupsi Eks anggota DPR-RI Al Amien Nasution akan menghadapi pembacaan tuntutan oleh jaksa pada hari ini di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, jalan HR Rasuna Said, Kuningan-Jakarta Selatan.Amien didakwa dengan pasal pemerasan dan menerima hadiah sebagai penyelenggara negara. Amin terbelit tiga kasus dua diantaranya terkait alih fungsi hutan dan pengadaan alat GPS Geodetik di Departemen Kehutanan.

Dalam pengakuannya Al Amien Nasution hanya menerima cek senilai Rp 75 juta itupun terbagi dalam 3 lembar dan itu diperoleh dari rekannya Yusuf Erwin Faishal, uang berasal dari Chandra Antonio Tan, Dirut Chandratex Indo Artha untuk melancarkan proyek alih fungsi hutan lindung Tanjung Air Telang yang sekarang menjadi pelabuhan Tanjung Api-api.

Namun bantahan terjadi dalam kasus alih fungsi hutan di Bintan, amin mengaku tidak bertemu dan meminta serta menerima uang dari Azirwan Sekertaris Daerah Bintan. Berbeda dalam sidangan sebelumnya, dimana Azirwan mengaku bertemu Amien guna untuk mendapatkan rekomendasi proyek alih fungsi hutan lindung di Bintan. (qq)

KASUS KORUPSI BNI, ADRIAN WAWORUNTU DIHUKUM SEUMUR HIDUP OLEH TIM LIPUTAN 68H JAKARTA


 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis penjara seumur hidup kepada Adrian Herling Waworuntu. Adrian merupakan otak pembobol Bank Negara Indonesia Cabang Kebayoran Baru Jakarta senilai Rp1,2 triliun. Adrian merupakan terdakwa kelima yang dijatuhi vonis dalam kasus ini. Terdakwa lain rata-rata menerima hukuman antara delapan tahun, hingga hukuman penjara seumur hidup. Namun seorang tersangka utama lain, Maria Lumowa hingga kini masih tak tentu rimbanya.

Berakhir sudah petualangan Adrian Waworuntu. Terdakwa kasus korupsi yang pernah melarikan diri hingga keluar negeri itu akhirnya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menjatuhkan vonis juga mewajibkan Adrian membayar denda 1 milyar rupiah serta wajib mengganti kerugian negara sebesar 300 milyar rupiah.


KASUS KORUPSI DI LINGKUNGAN PERTAMINA


Dugaan korupsi dalam Tecnical Assintance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak pengeboran sumur minyak di Pendoko, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu. Jumlah kerugian negara, adalah US $ 24.8 juta. Para tersangkanya 2 Mantan Menteri Pertambangan dan Energi Orde Baru, Ginandjar Kartasasmita dan Ida Bagus Sudjana, Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda’oe, serta Direktur PT UPG Partono H Upoyo.
Kasus Proyek Kilang Minyak Export Oriented (Exxor) I di Balongan, Jawa Barat dengan tersangka seorang pengusaha Erry Putra Oudang. Pembangunan kilang minyak ini menghabiskan biaya sebesar US $ 1.4 M. Kerugian negara disebabkan proyek ini tahun 1995-1996 sebesar 82.6 M, 1996-1997 sebesar 476 M, 1997-1998 sebesar 1.3 Triliun. Kasus kilang Balongan merupakan benchmark-nya praktek KKN di Pertamina. Negara dirugikan hingga US$ 700 dalam kasus mark-up atau penggelembungan nilai dalam pembangunan kilang minyak bernama Exor
Kasus Proyek Pipaisasi Pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jawa (Pipianisasi Jawa), melibatkan Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda’oe, Bos Bimantara Rosano Barack, dan Siti Hardiyanti Rukmana. Kerugian negara hingga US$ 31,4 juta.
KORUPSI DI LINGKUNGAN BHS
 
Kejaksaan Agung kembali merilis data dan foto buronan korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap. Buron kedua yang dirilis adalah terpidana Eko Edi Putranto. Eko merupakan mantan komisaris Bank Harapan Sentosa (BHS), bank milik Hendra Rahardja.
Kejaksaan rencananya akan merilis 14 nama buron. Eko merupakan buronan kedua yang dirilis. Pada 17 Oktober, Kejagung telah merilis Sudjiono Timan dari BPUI. Rilis ini disampaikan Kapupeskum Kejagung I Wayan Pasek Suartha di gedung Kejagung, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta, Senin (30/10/2006).
Eko Edi Putranto merupakan terpidana yang dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi oleh PN Jakpus pada 22 Maret 2001," tegas Pasek. Terpidana disidang secara in-absentia dan tidak dapat dieksekusi badan sesuai putusan PT DKI Jakarta pada 8 November 2002.
Menurut Pasek, dalam amar putusan PT DKI, Eko dihukum pidana penjara 20 tahun, denda Rp 30 juta dan pembayaran uang pengganti sebesar Rp 1,950 triliun.

Dibeberkan, selaku komisaris atau pemegang saham bersama-sama dengan terpidana Sherny Konjongian, selaku Direktur Kredit, antara tahun 1992-1996 Eko telah memberikan persetujuan kredit kepada 6 perusahaan dalam grup.

Terpidana juga memberikan persetujuan kredit kepada 28 lembaga pembiayaan yang ternyata merupakan rekayasa. Karena kredit itu oleh lembaga pembiayaan disalurkan kepada perusahaan grup. Caranya dengan disalurkan lewat penerbitan giro kepada perusahaan grup tanpa proses administrasi kredit dan tidak dicatat atau dibukukan. Selanjutnya, beban pembayaran lembaga pembiayaan kepada BHS dihilangkan dan dialihkan kepada perusahaan grup.
Diakui Pasek, semenjak dirilisnya data dan foto para buronan tersebut hingga kini belum ada informasi sedikit pun tentang mereka. Informasi terhadap para buronan kakap ini bisa disampaikan ke Pusat Penerangan Hukum Kejagung nomor 021-7236510, atau kantor kejaksaan dan kepolisian di seluruh Indonesia.


KORUPSI JAKSA URIP TRI GUNAWAN
                          

 Vonis 20 tahun penjara terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan dapat menjadi indikasi keseriusan pemerintah dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dan merupakan sejarah baru dalam dunia hukum di Tanah Air. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Prof. DR.Runtung Sitepu, SH, M.Hum dan praktisi hukum, Julheri Sinaga, SH menjawab ANTARA di Medan, Kamis [04/09] , sehubungan vonis 20 tahun penjara yang dijatuhkan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), di Jakarta terhadap Jaksa Urip.
Menurut Sitepu, vonis terhadap Jaksa Urip itu diharapkan dapat menimbulkan efek jera bagi pejabat dan penegak hukum yang lain untuk tidak melakukan praktik tindak pidana korupsi. Vonis itu juga dapat menjadi indikasi bahwa pemerintah, khususnya Jaksa Agung, Hendarman Supandji benar-benar serius dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Hendarman Supandji juga dinilai tidak melakukan pembelaan terhadap anak buahnya yang berbuat salah dan terlibat dalam praktik korupsi.Kalau bisa, kata Sitepu, seluruh putusan terhadap pelaku praktik tindak pidana korupsi harus seperti vonis terhadap jaksa Urip itu.
Praktisi hukum, Julheri Sinaga, SH mengatakan, vonis itu cukup pantas bagi personil penegak hukum yang tidak bermoral. Sinaga mengharapkan vonis tersebut dapat menimbulkan efek jera bagi pejabat, khususnya unsur penegak hukum untuk tidak melakukan atau membela pelaku korupsi.
Vonis itu juga merupakan sejarah baru dalam dunia hukum di Tanah Air. “Belum pernah ada unsur penegak hukum, khususnya Jaksa yang dihukum selama ini,” katanya.
Ia menambahkan, satu-satunya yang kurang sesuai dalam putusan tersebut adalah rendahnya subsidair dari denda yang dikenakan. Pengadilan hanya menetapkan subsidair satu tahun kurungan jika Jaksa Urip tidak membayar denda sebesar Rp500 juta. “Hampir semua orang mau dipenjara demi uang sebesar Rp500 juta,” katanya.
Majelis Hakim Pengadilan Khusus Tipikor di Jakarta yang diketuai oleh Teguh Hariyanto, SH, Kamis (4/9), menjatuhkan vonis 20 tahun dan denda Rp500 juta dengan subsidiair satu tahun kurungan terhadap jaksa Urip Tri Gunawan.
Urip dinyatakan bersalah melanggar Pasal 12 B dan 12 E UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena menerima uang 660 ribu dolar AS dari Artalyta Suryani dan melakukan pemerasan sebesar Rp1 miliar terhadap mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Glen Surya Yusuf.
 


1 komentar:

  1. Titanium dioxide in food - Titanium-Arts
    The average amount of sodium in food titanium knee replacement contains about 3 mg (4.6 grams of sodium per serving). burnt titanium The average 바카라 사이트 amount of sodium per titanium hoop earrings serving is 1.2 stilletto titanium hammer

    BalasHapus