Tommy Suharto
Dinyatakan Sebagai Terdakwa
Kasus Korupsi 19
Juta Dolar
Putra mantan presiden Indonesia ,
Tommy Suharto, telah dinyatakan sebagai terdakwa dalam kasus korupsi sebesar 19
juta dolar, menyangkut monopoli perdagangan cengkeh. Jaksa Agung Hendarman
Supandji mengatakan, Kejaksaan Agung telah membuka kembali kasus dakwaan
korupsi terhadap Tommy Suharto.
Langkah ini diambil setelah
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat Jaksa Agung baru dan mengganti
Menteri Kehakiman dalam perombakan kabinet yang bertujuan menggalakkan upaya
memberantas korupsi. Tahun 1990an, Tommy Suharto memimpin badan yang bertugas
meregulasi perdagangan cengkeh. Pemerintah memberikan kredit lunak untuk badan
itu, untuk membeli cengkeh langsung dari petani.
Menurut Hendarman Supandji,
Tommy didapati menyalahgunakan dana pembelian cengkeh itu. Pekan lalu, jaksa
mengajukan gugatan perdata terhadap Suharto, dalam upaya memperoleh kembali
dana ratusan juta dolar yang konon diselewengkan yayasan-yayasan derma yang
didirikan Suharto.
SUHARTO TERSANGKA PENYALAHAN
PENGGUNAAN UANG NEGARA
Kasus dugaan
korupsi Soeharto menyangkut penggunaan uang negara oleh 7 buah yayasan yang
diketuainya, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan
Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab),
Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan,
Yayasan Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90
Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen
dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan
kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman.
Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan
dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung,
sejak tahun 1999
Uang negara 400
miliar mengalir ke Yayasan Dana Mandiri antara tahun 1996 dan 1998. Asalnya
dari pos Dana Reboisasi Departemen Kehutanan dan pos bantuan presiden. Dalam
berkas kasus Soeharto, terungkap bahwa Haryono Suyono, yang saat itu Menteri
Negara Kependudukan dan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional,
mengalihkan dana itu untuk yayasan. Ketika itu, dia masih menjadi wakil ketua
di Dana Mandiri. Bambang Trihatmodjo, yang menjadi bendahara yayasan ini,
bersama Haryono, ternyata mengalirkan lagi dana Rp 400 miliar yang telah masuk
ke yayasan itu ke dua bank miliknya, Bank Alfa dan Bank Andromeda, pada
1996-1997, dalam bentuk deposito.
Dari data dalam
berkas Soeharto, Bob Hasan paling besar merugikan keuangan negara, diduga
mencapai Rp 3,3 triliun. Hal ini juga terungkap dari pengakuan Ali Affandi,
Sekretaris Yayasan Supersemar, ketika diperiksa sebagai saksi kasus Soeharto.
Dia membeberkan, Yayasan Supersemar, Dakab, dan Dharmais memiliki saham di 27
perusahaan Grup Nusamba milik Bob Hasan. Sebagian saham itu masih atas nama Bob
Hasan pribadi, bukan yayasan.
Hutomo Mandala
Putra bersama bersama Tinton Suprapto, putra bungsu Soeharto, pernah
memanfaatkan nama Yayasan Supersemar untuk mendapatkan lahan 144 hektare di
Citeureup, Bogor ,
guna pembangunan Sirkuit Sentul. Sebelumnya, Tommy dan Tinton berusaha
menguasai tanah itu lewat Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tapi gagal.
SUDJIONO
TIMAN
Sudjiono Timan
(lahir di Jakarta pada 9 Mei 1959) adalah
seorang pengusaha asal Indonesia .
Dari tahun 1995 hingga 1997 ia menjabat sebagai Direktur Utama PT. Bahana
Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Ia saat ini merupakan seorang buronan karena
melarikan diri dari hukuman pengadilan. Oleh pengadilan, Timan telah diputuskan
bersalah karena telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai direktur utama BPUI
dengan cara memberikan pinjaman kepada Festival Company Inc. sebesar 67 juta
dolar AS, Penta Investment Ltd sebesar 19 juta dolar AS, KAFL sebesar 34 juta
dolar AS, dan dana pinjaman Pemerintah (RDI) Rp 98,7 miliar sehingga negara
mengalami kerugian keuangan sekitar 120 juta dolar AS dan Rp 98,7 miliar.
Pada pengadilan
tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Timan dibebaskan dari
tuntutan hukum karena perbuatannya dinilai bukan tindak pidana. Menanggapi
vonis bebas itu, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi dan meminta Majelis
Kasasi menjatuhkan pidana sebagaimana tuntutan terhadap terdakwa yaitu pidana
delapan tahun penjara, denda Rp30 juta subsider enam bulan kurungan, serta
membayar uang pengganti Rp1 triliun.
Pada Jumat, 3
Desember 2004, Majelis Kasasi Mahkamah Agung (MA) yang dipimpin oleh Ketua MA
Bagir Manan memvonis Sudjiono Timan dengan hukuman 15 tahun penjara, denda Rp50
juta, dan membayar uang pengganti sebesar Rp 369 miliar.
Namun, saat
Kejaksaan hendak mengeksekusi Sudjiono Timan pada Selasa, 7 Desember 2004, yang
bersangkutan sudah tidak ditemukan pada dua alamat yang dituju rumah di Jalan
Prapanca No. 3/P.1, Jakarta Selatan maupun rumah di Jalan Diponegoro No. 46,
Jakarta Pusat dan dinyatakan buron dengan status telah dicekal ke luar negeri
oleh Departemen Hukum dan HAM.
Pada 17 Oktober
2006, Kejaksaan Agung Republik Indonesia
mulai menyebarkan foto dan datanya ke masyarakat melalui televisi dan media massa sebagai salah satu
14 koruptor buron yang sedang dicari.
AULIA POHAN TERSANGKA KASUS ALIRAN
DANA BI KE DPR
Aulia Pohan
memang sebenarnya telah banyak disebut-sebut orang yang ikut terlibat dalam
kasus mengalirnya dana BI ke beberapa anggota DPR, termasuk kasus-kasus korupsi
sebelumnya dimana Miranda Gultom masih menjabat sebagai
Deputi Gubernur
Senior BI. Amin Rais sendiri telah menyarankan agar Aulia Pohan segera
ditangkap termasuk beberapa direksi BI.
Kasus aliran
dana BI telah menjerat lima
orang, yaitu mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, mantan Deputi Direktur
Hukum BI Oey Hoy Tiong, mantan Kepala Biro Gubernur BI Rusli Simandjuntak,
mantan anggota DPR Antony Zeidra Abidin, dan anggota DPR Hamka Yandhu.
Berdasar laporan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kasus dana BI bermula ketika rapat Dewan
Gubernur BI yang dipimpin Burhanuddin Abdullah mengeluarkan persetujuan untuk
mencairkan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp100
miliar. Oey diduga menyerahkan dana YPPI sebesar Rp68,5 miliar kepada pejabat
BI yang saat itu terjerat kasus hukum dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI), yaitu mantan Gubernur BI Soedrajad Djiwandono, mantan Deputi Gubernur
BI Iwan R Prawiranata, dan tiga mantan Direksi BI, yaitu Heru Supraptomo,
Hendro Budianto, dan Paul Sutopo.
Pada pemeriksaan
di KPK, Oey mengaku menyerahkan uang tersebut kepada para
mantan pejabat
BI. Namun, Oey mengaku tidak tahu lagi kemana uang tersebut
setelah
diserahkan kepada mereka. Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia/BLBI
diperkirakan telah menghilangkan
dana sebesar
lebih dari Rp600 triliun yang hanya dinikmati dinikmati segelintir
orang (Antara
news 30/9)
Sedangkan uang
senilai Rp31,5 miliar diduga diberikan oleh Rusli Simandjuntak
dan Asnar Ashari
kepada panitia perbankan Komisi IX DPR periode 2003 untuk
penyelesaian
masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan amandemen UU No 23 Tahun
1999 tentang BI.
HPH
dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young
Kasus HPH dan Dana Reboisasi
Hasil audit Ernst & Young pada 31 Juli 2000 tentang penggunaan dana
reboisasi mengungkapkan ada 51 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 15,025
triliun (versi Masyarakat Transparansi Indonesia). Yang terlibat dalam kasus
tersebut, antara lain, Bob Hasan, Prajogo Pangestu, sejumlah pejabat Departemen
Kehutanan, dan Tommy Soeharto.
Bob Hasan telah divonis enam
tahun penjara. Bob dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi proyek pemetaan hutan
senilai Rp 2,4 triliun. Direktur Utama PT Mapindo Pratama itu juga diharuskan
membayar ganti rugi US$ 243 juta kepada negara dan denda Rp 15 juta. Kini Bob
dikerangkeng di LP Nusakambangan, Jawa Tengah.
Prajogo Pangestu diseret sebagai
tersangka kasus korupsi dana reboisasi proyek hutan tanaman industri (HTI) PT
Musi Hutan Persada, yang diduga merugikan negara Rp 331 miliar. Dalam
pemeriksaan, Prajogo, yang dikenal dekat dengan bekas presiden Soeharto,
membantah keras tuduhan korupsi. Sampai sekarang nasib kasus taipan kakap ini
tak jelas kelanjutannya.
MUHAMMAD AL AMIN NASUTION
KASUS PENGALIHAN HUTAN LINDUNG DI RIAU
Jakarta-
Terdakwa tiga kasus korupsi Eks anggota DPR-RI Al Amien Nasution akan
menghadapi pembacaan tuntutan oleh jaksa pada hari ini di Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi, jalan HR Rasuna Said, Kuningan-Jakarta Selatan.Amien didakwa
dengan pasal pemerasan dan menerima hadiah sebagai penyelenggara negara. Amin
terbelit tiga kasus dua diantaranya terkait alih fungsi hutan dan pengadaan
alat GPS Geodetik di Departemen Kehutanan.
Dalam
pengakuannya Al Amien Nasution hanya menerima cek senilai Rp 75 juta itupun
terbagi dalam 3 lembar dan itu diperoleh dari rekannya Yusuf Erwin Faishal,
uang berasal dari Chandra Antonio Tan, Dirut Chandratex Indo Artha untuk
melancarkan proyek alih fungsi hutan lindung Tanjung Air Telang yang sekarang
menjadi pelabuhan Tanjung Api-api.
Namun bantahan
terjadi dalam kasus alih fungsi hutan di Bintan, amin mengaku tidak bertemu dan
meminta serta menerima uang dari Azirwan Sekertaris Daerah Bintan. Berbeda
dalam sidangan sebelumnya, dimana Azirwan mengaku bertemu Amien guna untuk
mendapatkan rekomendasi proyek alih fungsi hutan lindung di Bintan. (qq)
KASUS KORUPSI BNI, ADRIAN WAWORUNTU DIHUKUM
SEUMUR HIDUP OLEH TIM LIPUTAN 68H JAKARTA
Berakhir sudah
petualangan Adrian Waworuntu. Terdakwa kasus korupsi yang pernah melarikan diri
hingga keluar negeri itu akhirnya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menjatuhkan vonis juga mewajibkan
Adrian membayar
denda 1 milyar rupiah serta wajib mengganti kerugian negara sebesar 300 milyar
rupiah.
KASUS KORUPSI DI LINGKUNGAN PERTAMINA
Dugaan korupsi dalam Tecnical
Assintance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG)
tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak pengeboran sumur minyak di Pendoko,
Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu. Jumlah kerugian negara, adalah US $ 24.8
juta. Para tersangkanya 2 Mantan Menteri Pertambangan dan Energi Orde Baru,
Ginandjar Kartasasmita dan Ida Bagus Sudjana, Mantan Direktur Pertamina Faisal
Abda’oe, serta Direktur PT UPG Partono H Upoyo.
Kasus Proyek Kilang Minyak
Export Oriented (Exxor) I di Balongan, Jawa Barat dengan tersangka seorang
pengusaha Erry Putra Oudang. Pembangunan kilang minyak ini menghabiskan biaya
sebesar US $ 1.4 M. Kerugian negara disebabkan proyek ini tahun 1995-1996
sebesar 82.6 M, 1996-1997 sebesar 476 M, 1997-1998 sebesar 1.3 Triliun. Kasus
kilang Balongan merupakan benchmark-nya praktek KKN di Pertamina. Negara
dirugikan hingga US$ 700 dalam kasus mark-up atau penggelembungan nilai dalam
pembangunan kilang minyak bernama Exor
Kasus Proyek Pipaisasi
Pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jawa (Pipianisasi Jawa), melibatkan
Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda’oe, Bos Bimantara Rosano Barack, dan Siti
Hardiyanti Rukmana. Kerugian negara hingga US$ 31,4 juta.
KORUPSI DI LINGKUNGAN BHS
Kejaksaan Agung kembali merilis
data dan foto buronan korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap. Buron kedua
yang dirilis adalah terpidana Eko Edi Putranto. Eko merupakan mantan komisaris
Bank Harapan Sentosa (BHS), bank milik Hendra Rahardja.
Kejaksaan rencananya akan
merilis 14 nama buron. Eko merupakan buronan kedua yang dirilis. Pada 17
Oktober, Kejagung telah merilis Sudjiono Timan dari BPUI. Rilis ini disampaikan
Kapupeskum Kejagung I Wayan Pasek Suartha di gedung Kejagung, Jalan Sultan
Hasanuddin, Jakarta ,
Senin (30/10/2006).
Eko Edi Putranto merupakan
terpidana yang dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi
oleh PN Jakpus pada 22 Maret 2001," tegas Pasek. Terpidana disidang secara
in-absentia dan tidak dapat dieksekusi badan sesuai putusan PT DKI Jakarta pada
8 November 2002.
Menurut Pasek, dalam amar
putusan PT DKI, Eko dihukum pidana penjara 20 tahun, denda Rp 30 juta dan
pembayaran uang pengganti sebesar Rp 1,950 triliun.
Dibeberkan, selaku komisaris atau pemegang saham bersama-sama dengan terpidana Sherny Konjongian, selaku Direktur Kredit, antara tahun 1992-1996 Eko telah memberikan persetujuan kredit kepada 6 perusahaan dalam grup.
Terpidana juga memberikan persetujuan kredit kepada 28 lembaga pembiayaan yang ternyata merupakan rekayasa. Karena kredit itu oleh lembaga pembiayaan disalurkan kepada perusahaan grup. Caranya dengan disalurkan lewat penerbitan giro kepada perusahaan grup tanpa proses administrasi kredit dan tidak dicatat atau dibukukan. Selanjutnya, beban pembayaran lembaga pembiayaan kepada BHS dihilangkan dan dialihkan kepada perusahaan grup.
Dibeberkan, selaku komisaris atau pemegang saham bersama-sama dengan terpidana Sherny Konjongian, selaku Direktur Kredit, antara tahun 1992-1996 Eko telah memberikan persetujuan kredit kepada 6 perusahaan dalam grup.
Terpidana juga memberikan persetujuan kredit kepada 28 lembaga pembiayaan yang ternyata merupakan rekayasa. Karena kredit itu oleh lembaga pembiayaan disalurkan kepada perusahaan grup. Caranya dengan disalurkan lewat penerbitan giro kepada perusahaan grup tanpa proses administrasi kredit dan tidak dicatat atau dibukukan. Selanjutnya, beban pembayaran lembaga pembiayaan kepada BHS dihilangkan dan dialihkan kepada perusahaan grup.
Diakui Pasek, semenjak
dirilisnya data dan foto para buronan tersebut hingga kini belum ada informasi
sedikit pun tentang mereka. Informasi terhadap para buronan kakap ini bisa
disampaikan ke Pusat Penerangan Hukum Kejagung nomor 021-7236510, atau kantor
kejaksaan dan kepolisian di seluruh Indonesia .
KORUPSI JAKSA URIP TRI GUNAWAN
Menurut Sitepu, vonis terhadap Jaksa Urip
itu diharapkan dapat menimbulkan efek jera bagi pejabat dan penegak hukum yang
lain untuk tidak melakukan praktik tindak pidana korupsi. Vonis itu juga dapat
menjadi indikasi bahwa pemerintah, khususnya Jaksa Agung, Hendarman Supandji
benar-benar serius dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Hendarman Supandji juga dinilai tidak
melakukan pembelaan terhadap anak buahnya yang berbuat salah dan terlibat dalam
praktik korupsi.Kalau bisa, kata Sitepu, seluruh putusan terhadap pelaku
praktik tindak pidana korupsi harus seperti vonis terhadap jaksa Urip itu.
Praktisi hukum, Julheri Sinaga, SH
mengatakan, vonis itu cukup pantas bagi personil penegak hukum yang tidak
bermoral. Sinaga mengharapkan vonis tersebut dapat menimbulkan efek jera bagi
pejabat, khususnya unsur penegak hukum untuk tidak melakukan atau membela
pelaku korupsi.
Vonis itu juga merupakan sejarah baru
dalam dunia hukum di Tanah Air. “Belum pernah ada unsur penegak hukum,
khususnya Jaksa yang dihukum selama ini,” katanya.
Ia menambahkan, satu-satunya yang kurang
sesuai dalam putusan tersebut adalah rendahnya subsidair dari denda yang
dikenakan. Pengadilan hanya menetapkan subsidair satu tahun kurungan jika Jaksa
Urip tidak membayar denda sebesar Rp500 juta. “Hampir semua orang mau dipenjara
demi uang sebesar Rp500 juta,” katanya.
Majelis Hakim Pengadilan Khusus Tipikor di
Jakarta yang diketuai oleh Teguh Hariyanto, SH, Kamis (4/9), menjatuhkan vonis
20 tahun dan denda Rp500 juta dengan subsidiair satu tahun kurungan terhadap
jaksa Urip Tri Gunawan.
Urip dinyatakan bersalah melanggar Pasal 12
B dan 12 E UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
karena menerima uang 660 ribu dolar AS dari Artalyta Suryani dan melakukan
pemerasan sebesar Rp1 miliar terhadap mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN), Glen Surya Yusuf.
Titanium dioxide in food - Titanium-Arts
BalasHapusThe average amount of sodium in food titanium knee replacement contains about 3 mg (4.6 grams of sodium per serving). burnt titanium The average 바카라 사이트 amount of sodium per titanium hoop earrings serving is 1.2 stilletto titanium hammer